Lihat ke Halaman Asli

"Sedia Payung" Dalam Pengelolaan Koleksi Museum

Diperbarui: 13 November 2016   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah Sudut di Salah Satu Museum di Yogyakarta (dok.yogi pradana)

Berita tentang hilangnya koleksi pada beberapa museum di Indonesia sudah menjadi hal yang biasa. Tercatat, September tahun 2013 Museum Nasional Jakarta kehilangan empat koleksinya yang tergolong artefak berharga karena memiliki nilai penting sebagai benda warisan budaya, empat artefak koleksi itu merupakan peninggalan kerajaan Mataram kuno (abad 8-10 M). Beberapa kasus pencurian artefak penting serupa juga pernah terjadi di Museum Radya Pustaka, Solo tahun 2007 dan Museum Sonobudoyo, Yogyakarta pada tahun 2010 yang lalu. Entah mungkin ada juga beberapa koleksi yang hilang pada museum-museum lain, tentunya kita tidak berharap itu terjadi lagi. Munculnya fenomena seperti ini jelas memunculkan berbagai tanggapan serius baik dari para akademisi, pecinta warisan budaya dan masyarakat/publik. Berbagai kritikan muncul untuk sejumlah museum di Indonesia, bagaimana museum yang seharusnya sebagai tempat pelestarian dan perlindungan benda warisan budaya justru menjadi sasaran empuk para mafia barang antik/kuno.

Dampak kerugian akan hilangnya artefak koleksi museum tidak hanya dari sisi obyek daya tarik museum saja, tetapi ketika benda tersebut dijarah, rusak, dicuri, atau diselundupkan, kerugian yang ditimbulkan adalah material maupun intelektual (Gill dan Chippindale, 1993 dalam Durney, 2011). Karena benda koleksi museum -terlebih yang memang tergolong koleksi penting- memiliki nilai penting sebagai benda warisan budaya masa lalu. Nilai penting ini antara lain berkaitan dengan identitas budaya, jatidiri bangsa, kesejarahan (ilmu pengetahuan) maupun politik dan ekonomi. Dari beberapa fenomena pencurian yang terjadi, kita bisa berspekulasi bahwa perlindungan terhadap benda-benda warisan budaya di museum kita selama ini kurang diperhatikan. Baik dari sisi manajemen pengolahan koleksi, manajemen keamanan koleksi, manajemen keamanan museum hingga mungkin pada level sumberdaya manusianya. Museum kita jarang ada yang mempunyai manajemen dan sistem keamanan canggih untuk perlindungan benda-benda koleksinya. Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang terjadi terkait dengan pengelolaan warisan budaya kita.  

 

Display Artefak Koleksi Museum Trowulan (dok.yogi pradana)

Pepatah mengajarkan bahwa lebih baik melakukan langkah pencegahan/preventif sebelum sesuatu yang telah diprediksi terjadi- “sedia payung sebelum hujan”. Untuk itu perlunya beberapa langkah serius dalam mencegah kejadian-kejadian seperti ini terulang kembali di masa mendatang harus dilakukan. Disamping itu juga karena cara-cara penelusuran benda-benda yang sudah hilang dicuri yang selama ini dilakukan sangat jauh dari kata “berhasil”.

Selama ini pengelolaan warisan budaya di Indonesia hanya dilakukan oleh pemerintah atas kepentingan pemerintah juga, bukan berdasarkan berbagai pihak yang memang seharusnya terkait dengan warisan budaya itu, masyarakat. Masyarakat sekarang tidak lagi terlalu menggantungkan harapan pada upaya pemerintah dalam pelestarian warisan budaya. Tidak jarang mereka malah meragukan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan warisan budaya. Situasi ini akhirnya melahirkan berbagai organisasi, lembaga kemasyarakatan maupun pribadi-pribadi yang mempunyai perhatian terhadap pelestarian warisan budaya. Selain itu, masyarakat pada hakekatnya telah mempunyai konsep-konsep atau cara pelestariannya sendiri (disebut: etnoconservation) untuk benda-benda masa lampau (warisan) yang mereka miliki. Yang menarik, upaya pelestarian yang mereka lakukan secara mandiri terbukti cukup efektif dan sangat membantu pemerintah. Karena itu, peran serta mereka amat perlu diberi tempat dalam arah kebijakan pengelolaan yang baru (Tanudirjo, 2003).

Arah pengelolaan warisan budaya di museum, terkait munculnya berbagai kasus hilangnya koleksi artefak untuk masa yang akan datang, kiranya bisa diarahkan pada kebijakan yang lebih menampung peran masyarakat untuk ikut serta dalam praktek pelaksanaannya, yang paling mudah dan relatif bisa diterapkan ialah dalam hal “pencegahan”. Untuk bentuknya, kebijakan berbasis masyarakat pada pengelolaan tinggalan di museum bisa dicari dan dirumuskan terlebih dahulu. Tentunya dalam kajian museologi hal-hal yang berkaitan dengan interaksi dengan masyarakat/publik sering dilakukan, sebagai contoh adalah 'museum partisipatoris' yang mewadahi partisipasi masyarakat dalam saling tukar informasi mengenai pengetahuan sebuah artefak dalam tiap display museum. Melalui itu, hal-hal yang berkaitan dengan 'kesadaran akan keberadaan dan kelestarian koleksi museum'  bisa dijadikan salah satu bagian penting untuk disertakan. Kesadaran dan perhatian masyarakat akan pentingnya warisan budaya akan menjadi kontrol sosial dalam upaya pencegahan kasus seperti ini terulang kembali.

Referensi

Durney, Mark & Blythe Proulx. 2011. Art Crime: a Brief Introduction. Springer Online.

Tanudirjo, Daud A. 2003. Warisan Budaya Untuk Semua, Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Makalah dalam Kongres kebudayaan V Bukittinggi 2003.

dok.yogi pradana

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline