Lihat ke Halaman Asli

Campur Kode Bukan Hal Baru

Diperbarui: 19 November 2020   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"Eh, tahu nggak sih! Waktu itu aku ditanya kapan nikah sama Tanteku. Lalu aku jawab aja wagelaseh, literally ngga sensitif bet pertanyaannya. Which is bikin aku tersinggung, Af! Aku, sih, lebih prefer kalau Tante basa-basi yang lit atau et least yang chill aja gitu."

Begitulah kurang lebih sebuah dialog yang sering muncul di kalangan anak zaman sekarang. Lalu ada juga kalimat seperti ini, "Kepada jemaah Masjid yang membawa handphone harap dimatikan atau disilent". Sekilas tidak ada yang aneh, tetapi ada yang menarik perhatian, yaitu penggunaan kata “disilent".

Fenomena ini sudah banyak kita jumpai. Banyak orang yang menyebutnya sebagai bahasa gado-gado, karena ada pencampuran bahasa yang digunakan. Dalam ruang komunikasi verbal hingga ruang pendidikan, pencampuran bahasa memang bukan sesuatu yang baru atau aneh. Belakangan muncul bahasa anak Jaksel (Jakarta Selatan) dengan imbuhan which is dan lain sebagainya, sehingga mencul berbagai komentar termasuk dari kalangan yang  memiliki kapabilitas dalam bahasa Indonesia.

Campur Kode
Jika kebanyakan dari masyarakat menyebutnya sebagai bahasa gado-gado, ada sebuah istilah tentang fenomena ini, yaitu campur kode. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain, melalui idiom, klausa, atau kata yang bertujuan memperluas makna dari sebuah struktur bahasa yang digunakan.

Indonesia sebagai negara multilingual yang mampu menggunakan lebih dari dua bahasa, juga tidak menutup diri dari bahasa asing sehingga sangat mudah untuk diterpa fenomena campur kode. Hal ini sejalan dengan pernyataan Abdul Kholiq, dalam sebuah Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia edisi April 2013 bahwa dalam masyarakat multilingual yang memiliki mobilitas tinggi, maka anggota masyarakatnya akan cenderung menggunakan dua bahasa atau lebih.

Melihat banyaknya bahasa yang ada dalam struktur masyarakat Indonesia, ditambah masuknya bahasa asing menjadikan masyarakat Indonesia terbiasa mencampur kode atau menggunakan lebih dari satu bahasa. Lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, arus urbanisasi dan transmigrasi menciptakan mobilisasi tinggi yang sangat memungkinkan terjalinnya transformasi budaya dan bahasa.

Kedudukan Bahasa Indonesia
Secara tujuan dan pengertian, campur kode bukanlah sesuatu yang baru, bukan juga sesuatu yang salah. Pendidikan dalam transformasinya bisa saja memerlukan penggunaan bahasa daerah atau bahasa asing agar penyampaian ilmu lebih mudah dipahami. Namun yang terpenting, kedudukan bahasa Indonesia tetap nomor satu. Dalam Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 dituliskan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan. Dalam Pasal 25 Undang-Undang yang sama juga dikatakan, Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan media massa.

Hal yang terkadang disayangkan adalah saat padanan kata ditemukan, atau perluasan makna tidak diperlukan, tetapi fenomena campur kode masih berlangsung. Ada ketidaksempurnaan bahasa Indonesia nantinya. Oleh karena itu, akan lebih baik jika menggunakan padanan katanya dalam bahasa Indonesia.

Media massa juga menjadi medium yang tidak jarang menyajikan komunikasi campur kode melalui berbagai produknya. Contoh yang biasa ditemui ada dalam media elektronik, baik radio maupun televisi. Iklan dan program siaran tidak jarang menggunakan campur kode. Misalnya kalimat “Taro gadgetmu” dalam sebuah iklan produk makanan ringan, yang semestinya bisa diganti dengan kata gawai.

Sehubungan dengan hal tersebut, lagi-lagi fenomena ini sebetulnya bukan sesuatu yang salah. Namun, akan lebih baik jika di ruang publik, instansi pemerintahan maupun media massa tetap mengutamakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai medium yang dapat menyosialisasikan istilah baru dalam bahasa Indonesia.

Satu hal yang perlu diingat bahwa campur kode bukanlah sesuatu yang baru, salah, ataupun aneh, melainkan adalah dampak dari multilingual dan kehidupan masyarakat yang tinggi. Hanya perlu untuk dapat membiasakan diri menjunjung bahasa Ibu Pertiwi, sebagai pengamalan amanat undang-undang, pengukuhan identitas, dan penghargaan terhadap nilai-nilai sumpah pemuda.*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline