Lihat ke Halaman Asli

Paradoks Demokrasi: Media dan Politik di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1370429270767834990

[caption id="attachment_247250" align="aligncenter" width="620" caption="Illustrasi : tempo"][/caption] Pada situasi saat ini kita melihat bahwa media massa lebih banyak dikuasai oleh orang-orang yang berafiliasi dengan partai politik atau lembaga yang memiliki kepentingan politik lainnya. Namun disisi lain kita mengharapkan kalau kepemilikan media itu seharusnya tidak dimiliki oleh orang yang memiliki keterkaitan langsung dengan partai politik. Dengan kepemilikan oleh orang partai politik, akibatnya saat ini media seperti sudah tidak memiliki obyektivitas dan sikap netral. Terlebih lagi jika media dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkaitan langsung dengan partai politik untuk mensosialisasikan kepentingan partai politiknya maupun digunakan untuk memojokkan lawan dari partai politik lain lewat pemberitaan di media miliknya. Hal tersebut dinilai dapat mengubah obyektivitas pemberitaan yang ada selama ini.

Masalah yang sama juga terjadi di Malaysia, saat Malaysia masih dalam masa kampanye antara Barisan Nasional dan Pekatan Rakyat untuk menentukan Perdana Menteri yang menjabat pada periode baru pada tahun 2013 ini. Pihak Pekatan Rakyat yang dipimpin oleh Anwar Ibrahim merasakan kekecewaan. Masalahnya, selama kampanye, media Malaysia, terutama televisi dan media cetak, sangat merugikan Anwar. Media-media tersebut pada umumnya milik pemerintah yang notabene dikuasai oleh pihak Barisan Nasional sehingga Anwar sama sekali tidak diberi kesempatan dan peluang. Untuk ini, hal tersebut dapat mencederai makna demokrasi dan adanya rasa dizalimi pada pihak tertentu.

Media menurut Hamidjojo dalam Latuheru (1993), memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebarkan ide, gagasan, atau pendapat sehingga dapat sampai ke penerima yang dituju. Selain itu media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Ashadi Siregar (2004) memetakan tiga fungsi instrumental media massa, yaitu untuk memenuhi fungsi pragmatis bagi kepentingan pemilik media massa sendiri, bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari pihak di luar media massa, atau untuk kepentingan warga masyarakat.

Dari ketiga fungsi tersebut, saat ini media massa Indonesia lebih banyak berfungsi pragmatis untuk kepentingan pemilik media yang kebetulan juga merupakan kekuatan ekonomi dan politik. Jika pun tidak, kekuatan tersebut datang dari luar media itu karena faktor finansial yang melibatkan konglomerasi dan bisnis.

Dua fungsi yang bergabung menjadi satu ini menyebabkan banyak media di Indonesia digunakan untuk kepentingan politik dari partai politik dan kepentingan konglomerasi/bisnis yang berafiliasi kepada partai politik tertentu. Sehingga terjadilah politisasi media, yang mana pemberitaan yang mereka lakukan semuanya didasarkan pada fakta politik untuk menggiring opini publik guna kepentingan pemilu/pilkada. Hal ini membuat banyak media tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Kontrol sosial

kita sebagai warga masyarakat tidak bisa diam saja melihat fenomena ini, bila kita tidak memberikan protes atau masukan terhadap media nantinya kita sendiri yang akan dirugikan mengingat media seperti Koran dan televisi adalah santapan kita setiap hari. Kita tahu bahwa terlepas dari obyektifitas atau subyektifitas yang terlibat dalam pemberitaan atau penayangan suatu acara tertentu oleh media massa dapat mengubah atau memengaruhi pola pikir kita, jika kita tidak teliti menyaring informasi, bisa jadi kita malah menanamkan stigma terhadap suatu peristiwa bersifat politik yang sebenarnya tidak valid.

Meskipun Indonesia memiliki Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran sudah mengatur tentang itu, namun rasanya pengaturan akan pengadaan iklan politik yang diadakan oleh pihak Pemilik media yang cenderung berafiliasi pada partai politik tertentu kurang bergitu efektif karena masih saja ada iklan politik terselubung menjelang pesta demokrasi.

Selain itu kita masih membutuhkan KPI ynag bertugas sebagai pengontrol konten siaran yang dilakukan oleh media massa dan perlu juga mendukung KPU sebagai lembaga yang mengontrol pemberitaan di media massa jenjang pemilu melalui peraturan yang diciptakannya. Seperti pada PKPU Nomor 1 Tahun 2013. Peraturan ini mengatur tentang kampanye. Namun, dalam aturan itu, terdapat pula klausul yang mengatur media massa dalam pemberitaan hingga penyiaran iklan kampanye. Tidak hanya mengatur kembali media massa, aturan PKPU itu juga mencantumkan sanksi meski sanksi disesuaikan dengan Undang-Undang Penyiaran. Peraturan sanksi terhadap media itu diatur dalam Pasal 45.

Alhasil, demi menyambut pesta demokrasi pada tahun 2014 nanti, kita mengharapkan pihak pemilik media massa netral dalam memberitakan hasil liputan beberapa partai politik manapun dan tanpa ditutupi maupun dipilah-pilah. Kenetralan ini dapat menghindari adanya pihak yang dirugikan dan informasi-informasi yang dibutuhkan masyarakat mengenai partai politik tertentu dapat terpenuhi sehingga masyarakat mantap memilih partainya tanpa ada rasa bingung atau bahkan menjadi golongan putih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline