Badan Legislatif sangat krusial perannya demi menjaga kelangsungan pemerintahan yang baik, terlebih di Negara yang sedang mengalami transisi dari yang sebelumnya Otoriter ke Demokrasi seperti Indonesia. Sejak reformasi 1998, Badan Legislatif Indonesia yaitu menjadi kunci penting dalam membuat kebijakan politik. Seiring kebutuhan masyarakat Indonesia untuk mengandalkan kinerja DPR sebagai pembuat kebijakan publik malah membuat ragu masyarakat, contohnya pada tahun 2005 saat dilaksanakan sidang paripurna DPR yang membahas mengenai kenaikan harga minyak yang mana terjadi konflik di antara anggota Dewan yang melakukan sidang paripurna di hari kedua. Konflik terjadi karena adanya anggota Dewan yang kebanyakan berasal dari fraksi PDI-P tak setuju dengan kebijakan kenaikan harga BBM, merasa pendapatan mereka(anggota yang tak setuju) tak diindahan Ketua DPR, Agung Lakshono, mereka pun melancarkan protes kepada beliau dengan menghampiri mimbarnya, melihat itu fraksi Golkar mencoba menghalangi dan melerai. Kisruh pada sidang tersebut tidaklah mencerminkan tindakan dari orang terpelajar yang dipercaya masyarakat yang menyebabkan sentiment masyarakat terhadap para legislator publik ini memburuk.
Tentunya hal tersebut masih dinilai wajar bagi Negara yang baru mengalami proses transisi. Meskipun proses transisi demorasi berjalan diatas akar otorisasi di era Suharto yang mana DPR dikuasai oleh orang-orang yang dekat dengan Suharto dan kebanyakan legislator berasal dari partainya yaitu Golkar. Anggota dewan yang seperti itu kebanyakan patuh dan tunduk kepada Suharto yang dikarenakan ingin menjabat sebagai anggota DPR lebih lama. Namun, sejak pemilihan umum 1999 pasca-reformasi, anggota dewan yang masih memiliki pengaruh seperi tadi masih dapat bertahan di kursi dewan dan justru menjadi kekuatan besar dalam memengaruhi kebijakan dan keputusan yang diambil di DPR. Ini penting untuk menjadi fokus pemerintahan Negara ini, bila ingin menerapkan asas demokrasi dengan menjamin fungsi Badan legislatif yaitu pengawasan, legislatif, dan representasi berjalan dengan baik maka salah satun jalanya adalah melakukan pemilihan secara demokratis serta adil dan bersih.
Konsolidasi Demokrasi dan Aturan Badan Legislatif
Dalam Negara berkembang, Badan legislatif tidak dianggap begitu penting. Fokus masih berada pada tindakan Presiden, perdana menteri, eksekutif bisnis, dll. Padahal dalam perannya di dalam pemerintahan yang demokratis, legislatif merupakan pemegang jalannya pemerintah yang baik. Lebih kuat legislatifnya, lebih komprehensif fungsinya dan akan lebih luas dampak sosialnya. Untuk menjalankan fungsinya yang dibutuhkan adalah personel dan anggaran finansial yang baik. Maka dari itu, dalam transisi demokrasi ini perlunya untuk memantapkan posisi legislatif dengan cara melakukan konsolidasi demokrasi. Konsolidasi yang dimaksud adalah dengan cara memenuhi aspek seperti adanya legitimasi rakyat kepada legislator, difusi nilai-nilai demokrasi, adanya sifat netral dari berbagai anggota dewan atau legislator, penghapusan otoriter dan reformasi peradilan. selain itu juga perlunya untuk meningkatkan rutinitas politik dengan menyediakan sebuah organisasi yang fungsional yang layak dan transparan, penciptaan dan modifikasi parpol, stabilisasi pemilihan serta menentukan system yang dan efisian sehingga lembaga-lembaga negara melakukan tugasnya dengan baik (check and balance).
Dengan melakuakan pemantapan seperti sedemikian rupa diharapkan Badan legislatif di Indonesia dapat menjalankan ketiga fungsinya dengan baik. Sebelumnya, fungsi Badan legislatif itu ada 3 yaitu representasi, legislasi dan pengawasan. Fungsi representasi yaitu fungsi yang di jalankan oleh legislator untuk mewakili dan mengekspresikan kepentingan dan pendapat dari semu lapisan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya, selanjutnya fungsi legislasi yaitu fungsi yang menjadi hak tradisional Badan legislatif yaitu menciptakan aturan umum atau perundang-undangan yang berlaku bagi semua kalangan warga masyarakat, sedangkan fungsi yng terakhir yaitu fungsi pengawasan adalah fungsi untuk melihat dan mengawasi kinerja eksekutif atau pemerintah. Pada negara demokrasi, dominasi eksekutif yang tidak proporsional yang mana merupaan peningggalan orde sebelumnya yang cenderung bersifat otoriter dapat dikurangi dengan parlemen yang efektif dan efisien dalam mengerjakan fungsi dan tugas-tugasnya.
Badan Legislatif Indonesia Selama Proses Demokratisasi
Selama rezim Presiden Suharto yang berlangsung antara tahun 1966 sampai 1998, dapat dilihat bahwa sistem kerja parlemen (Badan legislatif) hampir tidak melakukan control kepada Eksekutif (Presiden dan kabinetnya). Hal tersebut terjadi karena sebagian besar angggota dewan yang memiliki kursi di pemerintahan adalah sebagian besar adalah hasil dari penghargaan dari Suharto dan terus ingin mempertahankan kursinya dengan menunjukan kesetiaannya kepada Suharto. Para legislator tidak berani menentang keputusan eksekutif dan tidak pernah menyusun RUU, namun sebaliknya selalu menerima usulan eksekutif mengenai susunan RUU untuk dijadikan kebijakan publik.
Tindakan yang demikian menimbulkan kejenuhan dari masyarakat bahkan anggota dewan sendiri. Pada tahun 1998, kekuasaan Suharto didera banyak masalah seperti krisis moneter, harga pangan dalam negeri yang melonjak, utang negara yang terus bertambah, dll, ditambah desaan dari civil society yang mendesak Suharto dari kepemimpinannya yang menyebabkan kekuasaan Suharto berada pada titik akhir. Pada 8 april 1998 para pendukung rezim Orde Baru perlahan memisahkan diri dari rezim yang dikuasain oleh Suharto tersebut dan pada 18 mei 1998 DPR dengan tegas mendeklarasikan surat untuk mengultimatum Suharto untuk mengundurkan diri (impeachment) dan akhirnya kekuasaan Suharto sebagai Presiden republik Indonesia pun berkahir.
Setelah pasca reformasi 1998 , perubahan banyak dilakukan demi mewujudkan harapan masyarakat tentang demokrasi termasuk di dalam pemerintahan. namun, justru yang tak menunjukan perubahan berarti malah berasal dari DPR yang mana susunanya masih banyak tidak berubah sehingga sulit untuk menciptakan proses demokrasi secara nyata karena para reformis dan pihak oposisi yang dulu menentang pemerintahan Suharto belum diikut sertakan didalam pemerintahan. Dengan melihat kondisi yang demikian, pada 1999 diadakanlah pemilihan umum yang adil dan bersih sehingga para reformis dan pihak oposisi dapat memasuki kancah pemerintahan berbarengan dengan terpilihnya Presiden ke-empat yaitu Abdurrahman Wahid.
Dalam menjalankannya pemerintahannya Abdurrahaman Wahid atau kerap dipanggil Gus Dur melakukan perubahan yang besar terhadap Badan legislatif. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan 4 kali dari selang waktu 1999 sampai 2002 telah menegaskan fungsi dan tugas DPR sebagai Badan legislatif negara. Namun seiring jalannya waktu, pemerintahan menjadi timpang, pasalnya Gus Dur lebih sering bergantung pada DPR dan terkesan memberikan banyak kekuatan terhadap DPR. Dengan demikian menimbulkan gesekan antara Badan Ekseutif dan Legislatif sehingga kinerja keduanya menjadi tak kooperatif. Pada tahun 2002 Gus Dur di-impeach.
Pada masa pemerintahan megawati gesekan tersebut dapat diperbaiki dan menjadi kooperatif, selanjutnya pada tahun 2004 setelah pertama kalinya dilakukan pemilihan umum yang bebas dan adil yang mana pada tahun tersebut dimenangan oleh partai democrat dan menjadika SBY sebagai Presiden. Pada periode pertama SBY, DPR dibagi menjadi 2 koalisi yaitu koalisi kebangsaan yang terdiri dari sebagian besar fraksi PDI-P dan Golkar, sedang koalisi yang lain dinamaan koalisi Rakyat yang berisikan fraksi-fraksi dari Partai Demokrat,PPP, PKS dan PAN. Timbul konflik antara kedua koalisi tersbut mengenai jatah kursi pemerintahan yang akan diduduki sehingga diadakan sistem kursi proporsional.
Dengan demikian dari tahun 1999 sampai 2004, yang mana pada kedua tahun tersebut diadakan pemilihan, peran legislatif menjadi bertambah kuat. Presiden tida memiliki kekuatan untuk membuat kebijakan lagi dan Presiden membutuhkhan elit dari DPR dan DPD untuk tetap menjalankan pemerintahannya dengan baik.
DPR dan Fungsi Utamanya
a.Fungsi representasi
Kasus penentangan harga BBM pada tahun 2005 oleh sebagian anggota DPR dari fraksi PDI-P didasarkan oleh pandangan mereka bahwa apa yang mereka lakukan murni dilakukan untuk kepentingan rakyat. Namum bila diamati pada tahun-tahun sebelumnya saat megawati masih menjabat sebagai Presiden, kebijakan mengenai kenaikan harga BBM juga pernah dilakukan dan fraksi PDI-P pada masa itu mengindahkan kebijakan tersebut. Itu menunjukan bahwa pernyataan dari mereka hanya dalih dari keinginan dan kepentingan mereka sendiri. Sikap pencitraan di depan masyarakat yang seperti itu memang tidak hanya berada nedara yang sedang mengalami trnsisi namun juga pada negara yang sudah mapan sistem demokrasinya.
Dari kasus penentangan harga BBM tersebut yang kemudian menuai insiden memalukan dari para anggota DPR telah cukup untuk menjatuhkan reputasi DPR di depan mata masyarakat yang tidak percaya dengan jalannya proses kelembagaan dan kemajuan ekonomi. Masyarakat banyak yang berpendapat bahwa para legislator hanya mementingkan partainya ketimbang masyarakatnya.
Struktur politik pada masa tersebut mirip seperti struktur dukungan dan jaringan pelanggan (patronase strucutur ang klientise network) yang mana dukungan politik dapat diperjual-belikan untuk penghargaan dan posisi, para legislator yang menjabat tidak berdasarkan skill dan keahlian politik namun didasarkan banyanya dukungan dari pendukung mereka, uang dapat memastikan mereka mendapatkan posisi yang diinginkan, kelompok kepentingan terutama di sector bisnis biasa meloby para legislator untuk memengaruhi kebijakang untuk kepentinga mereka. Dan yang terpenting lagi, mereka cenderung mangabaikan fungsi representasi mereka yang mana ditunjukan untuk mewakili kepentingan masyarakat namun lebih untuk mewakili kepentingan partai dan ketua partai. Hal ini disebabkan oleh adanya UU pasal 38 ayat 2 tahun 2002 tentang partai politik yang berisikan bahwa pemimpin partai dapat memberhentikan legislator dari partainya di Badan legislatif negara ini.
b.ketidakefisienan dan cacat pada fungsi legislasi
Debat harga BBM pada tahun 2005 menunjuakn bahwa para legislator kehilangan kterampilan dalam membuat kebijaan publik seperti kebijakan ekonomi, fiscal, dan anggaran lainnya. Kebijjanakn yang mereka buat cenderung tidak mendalam dan detail khusunya pada kebijakan ekonomi. Ini menunjujkan keahlian umum dan teknis untu menyusun UU masih perlu dipertanyakan.
Padahal bila di negara yang sudah mapan jika mereka mengalami masalah dalam menyusun kebijakan, mereka dapat meminta saran dari senior atau staf ahli di bidangnya. Berbeda dari negara kita, kita memiliki sedikit staf yang ahli baik di internal maupun eksternal pemerintahan. jadi biasanya pemerintah atau legislator secara individual biasa menyewa staf khusus dari luar untuk membantu membuat kebijakan yang baik, ini didukung adanya anggaran yang mengkhususkan para pemereintah untuk melakukan hal tersbebut.
c.Pengawasan dan perjuangan bersama pemerintah
Amandemen konnstitusi 1999-2002 memang menguatkan DPR dalam fungsi pengawasan dan membuat kedudukan antara legislatif dan eksekutif sejajar.
Profesionalitas DPR selama ini
profesionalisme terbelakang sebagian legislator dan seringnya laporan korupsi dan politik uang dalam legislatif yang paling menodai citra DPR. Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja Indonesia Badan legislatif? Proses demokratisasi Indonesia dikemukakan oleh konstitusi yang memberikan legislatif nasional peran yang kuat yang memadai demokratis dalam sistem pemerintahan. Dua pemilihan parlemen yang bebas dan adil pada tahun 1999 dan 2004 juga tanda-tanda yang sangat positif menuju pendalaman demokrasi. Sekarang sampai dengan wakil rakyat terpilih untuk memenuhi tugas konstitusional mereka dengan sikap yang lebih profesional. Konsolidasi demokrasi, sebagaimanapun, terhenti selama kekurangan dijelaskan di DPR Indonesia terus berlangsung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H