Saat kita bangun dari tidur, kita menghirup nafas kehidupan yang baru. Sejak saat itu pula kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Untuk langsung mandi ataupun melihat notifikasi di hp pun adalah pilihan yang harus kita ambil. Di lain kesempatan, bahkan kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit dan tak mengenakkan. Inilah resiko bagi kita yang dikaruniai kehendak bebas. Sebab persis disitulah perbedaan kita dengan makluk yang tak berakal budi.
Menjadi baik adalah pilihan. Saya percaya, kita semua adalah pribadi yang baik dengan cara kita masing-masing. Apakah ada orang baik yang baik disepanjang hidupnya? Saya rasa tidak ada. Mengapa demikian? Karena kita adalah makluk yang rapuh. Namun seringkali kita menolak kerapuhan itu dengan bersikap sombong dan arogan. Kita merasa lebih hebat dari yang lain, kita merasa lebih unggul dari yang lain, dan kita melihat orang lain sebagai lawan dalam pertarungan hidup.
Hidup bukanlah untuk bertarung, tetapi hidup adalah untuk melayani. Kita semua adalah pelayan sang Pencipta. Kita adalah ciptaan yang notabene dicintai dan dikasihi. Maka penolakan akan seseorang adalah sebuah bencana. Bagaimana mungkin kita yang adalah sama sama ciptaan menolak kehadiran yang lain hanya karena satu dan dua aspek yang mungkin tidak terlalu esensial? Itu terjadi tak lain karena kita hidup dalam bayang-bayang arogansi semu.
Hidup yang arogan membuat kita jatuh kepada kecemasan dan tidak pernah puas. Kita takut orang lain menjadi lebih baik dari kita. Kita cemas, kalau orang lain tidak lagi percaya dengan kita. Di titik ekstrim tertentu, kita takut kehilangan orang-orang yang kita cintai hanya karena alasan-alasan yang sebenarnya hanya ada di pikiran kita saja. Oleh karena itu, tak heran kalau kita sering menjatuhkan orang lain demi mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Hidup itu untuk selalu bersyukur dan bukan untuk bertarung. Apa yang menyebabkan seseorang menemukan kebahagiaannya? Dan apa yang menyebabkan seseorang tidak pernah bahagia dalam hidupnya? Tak lain adalah seberapa dalam ia memaknai rasa syukur dalam hidupnya. Ada seseorang yang dalam hidupnya selalu dimudahkan.
Apa yang ia inginkan selalu terpenuhi. Namun dalam kecukupan hidup yang mentereng seperti itu, ia tidak bahagia. Mengapa? Karena ternyata ia tidak memperoleh kebebasan seperti orang lain pada umumnya.
Ada tuntutan lain yang dituntut dalam dirinya, dalam keseluruhan hidupnya. Ia menjadi hamba atas pundi-pundi ketercukupannya itu. Depresi tentu saja menghantui orang seperti ini kemanapun ia pergi. Maka tidak pernah bisa kita membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, karena tentu saja akan sia-sia. Kita tidak akan mendapatkan apa-apa dengan membandingkannya.
Maka, marilah kita terus bersyukur untuk semua kebaikan yang telah kita lakukan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Siapapun kita, apapun latar belakang kita, ingatlah, kebaikan harus diatas segala-galanya. Tentu saja kebaikan bagi sebanyak mungkin orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H