Lihat ke Halaman Asli

Kejahatan Tidak Setara, Hukuman Sama Merata

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pasal 28 D ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut saya pasal tersebut adalah pasal yang palling sering dilanggar oleh pemerintahan terutama oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab karena banyak terjadi kejahatan atau kriminalitas yang terjadi di negara ini baik ringan maupun kategori berat. Akan tetapi hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan kejahatan yang telah mereka perbuat.

Banyak orang yang melakukan kejahatan ringan namun mereka mendapatkan hukuman yang berat. Dan banyak orang yang melakukan kejahatan berat namun hanya mendapat hukuman yang cukup ringan bila dibandingkan dengan tingkat kejahatannya. Mungkin para pejabat mempunyai pemikiran apabila kampanye mereka mengeluarkan banyak modal. Maka apabila terpilih mereka harus bisa mendapatkan (Modal+bunga). Dan juga system pemikiran “aji mumpung” yaitu selagi saya masih menjabat dan bisa mengambil uang sebanyak-banyaknya, mengapa tidak saya ambil ? toh kesempatan tidak datang 2x.

Mungkin ini terjadi karena hukum di negara ini masih seperti mata pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Yaitu hukum bersifat memaksa bagi kaum dan masyarakat yang lemah namun hukum “hampir” tidak berlaku bagi kaum dengan modal tinggi. Banyak warga miskin yang melakukan kriminalitas karena dalam keadaan sangat terpaksa, namun hukuman yang mereka peroleh sangatlah berat. Dan ketika para pejabat melakukan tindak pidana yang memakan hak rakyat dibiarkan berkeliaran. Mungkin memang ada yang sudah dihukum, namun hukuman yang diterimanya tidak sebanding dengan kejahatan yang telah diperbuatnya. Yaitu merugikan negara dan masyarakat golongan bawah. Ini sangatlah bertolak belakang dengan undang-undang yang menyatakan bahwa semua orang sama di mata hukum.

Contohnya adalah hukuman bagi para koruptor yang telah menyedot harta negara sebanyak milyaran rupiah namun hanya dikenai hukuman yang cukup ringan. Bahkan dalam kasus Gayus Tambunan, dia tertangkap kamera sedang menonton tenis di Pulau Bali, padahal seharusnya dia dikurung untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah merugikan negara. Ada juga koruptor menerima hukuman penjara namun, penjara bagi koruptor tersebut bukanlah penjara biasa, karena memiliki fasilitas dan perabotan super mewah. Apakah uang bisa membeli hukum ? dalam kasus ini jawabannya adalah ya. Sang koruptor bisa memiliki fasilitas yang begitu mewah dikarenakan persekongkolannya dengan orang dalam yakni petugas lapas yang diberi uang untuk menyewa “kamar” tersebut dengan harga yang cukup tinggi tentunya. Padahal ada kasus memakan semangka dikebun seorang saudagar dia dihukum dengan kurungan 5 tahun, apakah ini adil ? setelah diselidiki tersangka memakan semangka karena kehausan di siang yang sangat terik. Tersangka juga merupakan buruh di kebun tersebut. Dan lebih mirisnya lagi, semangka yang ia makan adalah semangka sortiran yang kemungkinan besar sudah tidak akan dijual karena memang sudah tidak memenuhi syarat. Dan ada juga kasus serupa namun kali ini tersangkanya mencuri buah kapas dan itupun kapas sisa sortiran yang sudah tidak terpakai lagi.

Pasal ini sangat penting untuk dijamin perlingdungannya karena apabila terus dibiarkan, maka tingkat kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat akan semakin merajalela dan sekali lagi rakyat kecil lah yang harus menanggung akibatnya. Mereka akan menderita karena hak yang harusnya mereka dapatkan agar bisa hidup layak malah digunakan untuk memperkaya diri “sang pejabat”.

Dan apabila rakyat kecil yang melakukan tindak pidana yang tidak seberapa dan itupun hanya digunakan untuk mendapatkan sesuap nasi, apakah dia akan dihukum berat ? lalu, siapa yang akan menghidupi keluarganya apabila dialah satu-satunya tulang punggung keluarganya selama ini ?

Mungkin apabila seorang koruptor dihukum, maka keluarganya masih bisa hidup dengan harta yang dimiliki oleh tersangka, karena memang koruptor pasti adalah orang kaya. Namun apabila rakyat kecil yang melakukan tindak pidana yang bisa dikatakan cukup ringan dan dalam waktu yang “terdesak” untuk sekedar mengganjal perut yang lapar karena bekerja seharian lalu dihukum berat, siapa yang akan menanggung kebutuhan keluarganya selama dia dipenjara ? apakah negara mau menanggung semua kebutuhan hidupnya ? apakah tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan ? apakah hanya sistem hukum yang bisa menyelesaikan masalah yang begitu sepele ?

Cara yang “mungkin” dapat dilakukan agar diskriminasi hukum tersebut bisa berkurang adalah kita harus mendidik para pemuda dan anak-anak yang kelak akan menjadi penerus bangsa ini dengan sifat-sifat jujur dan amanah. Kita juga harus membenahi akhlak mereka sejak mereka kecil. Karena “kawat lebih mudah dibentuk daripada besi”. Maksudnya selagi masih anak-anak kita harus membentuk mereka menjadi pribadi yang baik, jujur, dan amanah.  Apabila mereka tumbuh dewasa dengan sifat yang tidak jujur dan amanah maka kelak mereka akan sama saja seperti para pejabat sekarang.

Yang kedua adalah dengan mengawasi setiap pejabat, baik itu hakim, jaksa, dan pejabat penegak keadilan lainnya agar mereka melaksanakan tugasnya sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di negara ini bukan dengan jumlah uang suap yang mereka dapat.

Cara terakhir yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan memperbaharui peraturan yang bersifat subyektif dengan peraturan yang lebih obyektif. Agar hukum bisa melaksanakan tugasnya dengan lebih baik, hukum tidak salah sasaran dalam menegakkan keadilan, dan di negara ini akan terjadi keadilan yang setidaknya lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Dan suatu perubahan kecil, inysaallah akan menjadi suatu perubahan besar di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline