Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Tanah Air Beta

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Buku-buku vampir, chick-lit ga jelas, novel-novel romantis ga jelas, saya menyusuri rak buku di Periplus dengan penuh minat. Langkah saya terhenti di depan buku "The Tea Lords". Setengah sadar saya meraih buku tersebut, menelusuri gambar pemetik teh di sampul depan dan menelaah ringkasan buku tersebut (tentang kehidupan tuan tanah Belanda di sebuah perkebunan di Indonesia) di sampul belakang. Lalu saya menangis. The Tea Lords oleh Hella S. Haasse merupakan sebuah cerita tentang kecintaan seorang tuan tanah Belanda terhadap perkebunan Indonesianya, dan konflik yang muncul antara ia dan keluarganya akibat kecintaannya itu. Baca ringkasan lengkapnya disini. Walau buku ini tampak begitu kuat (saya belum berkesempatan membeli dan membacanya), bukan karena buku ini saya menangis. Namun karena saya tak henti bertanya, "Kemana Indonesia yang dulu sedemikian indah ini?". Waktu saya kecil dulu, Indonesia selalu digambarkan sebagai Zamrud Katulistiwa. Hamparan hijau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, penuh berisi kekayaan alam. Betapa keindahan dan kekayaan Indonesia menarik para kolonialis dan pedagang dari seluruh dunia untuk mencicipinya, untuk ambil bagian. Betapa keindahan Indonesia membuat Raffles membuat Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor, belum lagi julukan Paris Van Java. Betapa melimpahnya hasil bumi sehingga para kolonialis berlomba untuk tinggal disini dan memperkaya diri mereka. Dan ya, mutu manikam yang sedemikian berlimpah sehingga dalam cerita-cerita kuno/cerita daerah Raja, Putri, keluarga kerajaan tampak selalu bermandikan berlian dan batu berharga lainnya. Indonesia adalah negeri dongeng, karena sedemikian subur dan berlimpahnya kekayaan negeri ini, sehingga Tuhan tampak meng-anak tiri-kan negeri lain. Lalu kemana itu semua? Indahnya perkebunan teh di areal Puncak telah lama berganti menjadi deretan restoran dan vila tertutup, dan kesejukannya  jauh berkurang tertutup oleh asap kendaraan. Kesenyapan pantai Bali dengan cepat hilang dan tersapu suara musik dansa yang menggelegar dari pub, cafe, dan hotel yang bertumbuh lebih cepat daripada jamur di musim hujan. Perjalanan Jawa-Bali yang dulu dipenuhi sawah-sawah dan pemandangan indah kini tertutup pabrik dan perumahan. Di kawasan seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi atau Irian (dan pulau-pulau kecil lainnya) pembangunan memang tidak sedemikian menyesakkan, namun akses kesana menjadi sedemikian mahalnya sehingga hampir tak mungkin lagi berhubungan dengan mereka. Dahulu pergi tamasya ke Kalimantan adalah sebuah petualangan, kini pergi tamasya ke Kalimantan tampak aneh karena dengan budget yang sama orang bisa pergi ke Kamboja, Thailand, atau lokasi eksotis lainnya. Kita kehilangan Indonesia. Saya bukan ingin mengajak anda untuk membenci pembangunan, dalam beberapa segi saya pun menikmati pembangunan tersebut. Yang ingin saya lakukan adalah mengajak anda untuk melihat bagaimana Indonesia dulu. Betapa indahnya dan kayanya negeri kita, namun bila kita tidak berhati-hati maka semua itu akan lepas dari kita. Keindahan alam yang tertutup pleh bangunan beton, hasil panen yang dijual ke luar negeri sementara mengimpor barang murah untuk konsumsi dalam negeri, kekayaan alam yang dinikmati segelintir orang Indonesia sementara kerusakan alam yang parah dan pencemaran dirasakan oleh semua orang Indonesia. Ini yang dapat terjadi, ini yang sedang terjadi. Lalu bila semua itu hilang, kesuburan tanah kita, kekayaan alam kita, keindahan lingkungan kita, apa lagi yang kita punyai? Saya harus sesalkan betapa tidak proporsionalnya media di Indonesia. Seberapa sering anda mendengar tentang keindahan di satu daerah, misalnya Sumbawa? Seberapa sering anda mendengar tentang kabar negatif (i.e. kemiskinan) disana? Pasti lebih sering soal miskinnya kan. Begitu pula tentang pertambangan di Papua, seberapa banyakkah hasilnya? Yang saya dengar hanyalah pembunuhan dan penyerangan yang kerap terjadi di sana. Memang, bad news sell. Berita buruk lebih menjual. Namun saya berharap media dapat lebih objektif dan bersama memajukan Indonesia dengan membuat masyarakat Indonesia lebih dan lebih lagi mencintai negerinya sendiri. Ikutlah mencintai Indonesia. Dengan segala keindahannya, dengan segala kekayaannya, dengan segala keberagamannya. Muslim, Hindu, Kristen, Katolik, Batak, Padang, Menado, Papua, apapun itu, kita semua orang Indonesia. Mari berhentilah berpikir "ini demi agama/suku saya!", karena dahulu semua orang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan, bukan demi agama/suku tertentu. Mari berhentilah berpikir "saya tak peduli, yang penting saya senang!", karena kepedulian anda berarti bagi generasi Indonesia selanjutnya, terlepas apakah anda akan memiliki anak atau tidak. Ini Indonesia, negara kita tercinta. Cintailah Indonesia, lindungilah Indonesia, karena Indonesia begitu menakjubkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline