Lihat ke Halaman Asli

Yoga Utami

Ibu Rumah Tangga

Berkurban dan Berpartisipasi

Diperbarui: 20 Agustus 2018   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Idul Adha sebentar lagi. Seruan untuk menunaikan ibadah haji tentu diutamakan bagi mereka yang mampu, lahir dan batin, mental dan spiritual juga pastinya material. Himbauan, anjuran ataupun ajakan untuk berkurban telah berkumandang, di mesjid-mesjid hingga di dunia maya.  Bisa dimaklumi, pasti ada keinginan bagi seorang Muslim untuk merasakan makna serta pesan Hari Raya Idul Adha, berpartisipasi dalam berkurban.

Berkurban, sejarahnya datang dari kisah Nabi Ibrahim, ayah, kakek, lehuhur dari para sang Nabi penebar agama duniawi. Mimpi yang membuat galau Sang Nabi untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail, tentu membuat hatinya bertanya-tanya. Benarkah mimpi itu berasal dari panggilan Tuhan ataukah hanya mimpi buruk semata. Seorang Nabi adalah pilihan Tuhan. Keyakinan serta keikhlasan hatinya membimbing keteguhan bahwa mimpi itu adalah pesan suci. Tuhan selalu Maha Kuasa dan punya rencana indah yang tak terduga oleh para mahluk ciptaanNya. Dalam Surat As Shaaf ayat 102-111 tertulis kisah menggetarkan hati ini. Saat tiba waktu sang Nabi Ibrahim mengurbankan segenap perasaannya untuk menyembelih sang putra kesayangan, mukjizat terjadi. Sang putra nan cerdas dan sholih pun berubah menjadi sesosok "sembelihan" yang besar. Di kemudian hari, yang kita ketahui, Ismail mendapatkan gilirannya menjadi seorang Nabi.

Dari kisah agung tersebutlah selanjutnya himbauan untuk melakukan ibadah kurban bagi kaum Muslim. Makna berkurban terdalam adalah moral cerita Nabi Ibrahim, yakni kesabaran dan keikhlasan. Hewan kurban dalam konteks sosial berperan sebagai simbol kepedulian bagi sesama. Hitungan kuantitatif harta yang tersisihkan dari rezeki yang terlebihkan tentu tak akan bisa ditandingi kemuliaan arti kualitatif kesabaran dan keikhlasan yang dipersembahkan dengan niat lillahi ta'ala.

Demikian uraian kata 'berkurban' yang menjadi salah satu penggalan kata dalam judul coretan kali ini. Selanjutnya giliran mengurai kata 'berpartisipasi'. Dalam perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia, kita bisa mengalihbahasakan partisipasi menjadi turut serta, ikut serta, ikut andil, ambil bagian, asal jangan cuma ikut-ikutan atau nebeng. Dalam wacana ilmiah, dikenal sejumlah teori ataupun pendekatan seputar partisipasi. Mengikuti aturan tata bahasa, kali ini mau tidak mau dalam bahasa Inggris, kata partisipasi yang termasuk kata benda harus menjadi kata sifat, yakni partisipatoris. Misalnya, dikenal adanya Participatory Action Research (Kemmis, S. and McTaggart, R., 2000), Participatory Rural Appraisal (Chambers, Robert., 1994; Robinson-Paint, Anna., 1995; Campbell, John., 2001) dan Participatory Learning Action (Chambers, Robert.,2008).

Barangkali suatu kebetulan, istilah PAR, PRA dan PLA sempat saya akrabi ketika masih berkegiatan di lapangan bersama sejumlah lembaga kemanusiaan. Dalam semangat partisipatoris, saya diberi petuah dengan kata-kata kunci bahwa kita adalah manusia dan bukanlah dewa penolong, bahwa membantu bukanlah dalam artian memberi semata melainkan membuat pihak yang ingin kita bantu percaya bahwa diri mereka memiliki kemampuan. Membangkitkan percaya diri dan saling menghargai.

Dari pengalaman itu, tebersit niat saya mengadaptasi pendekatan partisipatoris dalam kegiatan belajar di kelas. Tesis saya belum selesai bahkan sedang diuji apakah bisa dituntaskan dan mendapatkan pembimbing yang benar-benar ikhlas membantu saya yang notabene kini termasuk kategori penyandang disabilitas karena penyakit saya. Ah, melenceng dari topik utama lol...

Contoh dari penerapan pendekatan partisipatoris yakni PAR, PRA dan PLA lekat dengan proses pendidikan, dengan siklus kegiatan melibatkan semua yang berkepentingan untuk mencermati apa yang terjadi, merumuskan masalah baik sebab dan akibat, merencanakan langkah pemecahan masalah, melakukan aksi, mengevaluasi, merenungkan simpulan untuk memutar lagi siklus dari awal. Rangkaian siklus ini tidak jauh dari makna pendidikan adalah proses kehidupan yang berputar dan berlangsung terus-menerus.

Perlu digarisbawahi bahwa semangat partisipatoris menekankan kebersamaan bahwa semua pihak adalah penting, tidak memandang seseorang lebih tinggi dan lebih penting. Bukan cuma berperan sebagai subjek bahkan objek yang kerap identik dengan derita.

Merangkaikan kata berkurban dan berpartisipasi barangkali terkesan membuat-buat. Namun, jika kembali ke kisah Nabi Ibrahim, beliau tidak mau bertindak seorang diri. Beliau melakukan dialog bersama Sang Khalik, sang putra juga tentu sang istri, Siti Hajar Ibunda Nabi Ismail. Dapat dibayangkan lebih jauh bagaimana beliau memperlakukan sang putera saat waktu penyembelihan. Tentu dipastikan sikap lemah lembut penuh rasa kemanusiaan. Tidak semena-mena tanpa hati. Demikianlah, kepada hewan kurban kita, dialog manusiawi bisa terwujud sejak masa persiapan, perawatan hingga tiba hari h termasuk kebersihan tempat proses pascapemotongan.

Dan selanjutnya, pesan juga pesta berkurban juga meneteskan semangat berpartisipasi, berbuat sesuatu dan bersama-sama. Siklus pendekatan partisipatoris juga berperan di sini.

Dalam kebersamaan kita menyaksikan ada saudara-saudara kita yang membutuhkan, tercetus niat bagaimana cara mengurangi penderitaan sesama, berbuat sesuatu mulai dari menabung rezeki secara individual untuk hewan sembelihan, menyaksikan saat penyembelihan hingga pembagian kepada yang berhak. Dalam aksi bersama ini, sungguh mulia keikhlasan kita jika tanpa ada membumbuhkan bumbu riya ke daging hewan yang dikurbankan. Belajar dari Nabi Ibrahim dan Ismail, semua keikhlasan dan kesabaran telah ditentukan ganjarannya oleh Sang Maha Kuasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline