Aku tidak tahu bagaimana harus menceritakannya
Kisah itu adalah kejadian sangat perih dalam hati kami
Ketika orang-orang memaksa kami untuk mengingatnya
Masa itu telah perlahan berwarna gelap di mata dan otak kami
Sungguh sendu...
Ngapunten Mbah...
Kami harus membuka luka ternganga
Walaupun setapak gurun menghantam sepercik samudera
Atau puncak Lawu tenggelam dalam berdentum-dentum badai Atlantik
Kebyaran nada sendu kalian tetap kami nanti
Engkau hidup dalam masa gemilang anak muda
Goresan hitam milik kalian mungkin menjadi putih
Akan tetapi hitam di mata kami terangkat ikat kepala merah di kepala mereka
Bagaimana tiada merinding kulit kami layaknya tersayat-sayat ?
Kami memandang ribuan massa mengepung para praja
Menyeretnya sampai tewas, terbungkus kata-kata durjana dari para manusia ikat merah
Angin pagi masih berdesir kencang
Lambaian daun mangga semakin membuat berisik
Mbah, kami muda dalam kawah surya dan engkau muda dalam kabut malam
Mana mau kami kembali ke dalam pekat kabut ?
Dan kami mohon engkau menyinari kami dengan kata pusaka
Pekat kabut telah lenyap sejak pasukan harimau datang
Mereka mengejar orang-orang Komunis ke timur
Lalu mereka menemukan setelaga darah agung memenuhi Loji
Gigilan kepala kami semakin keras
Haaaaaa...., kejamnya revolusi...., ooopooo kuwi jarene wes meeerrrrdekaaa ?,
Mbah, pripun niku ?, Kami dengar sumur-sumur itu menyimpan tawanan ?
Sesak....kah ?, bertumpuk-tumpuk orang di dalam gerbong tua ?
Kertopati naminipun...
Sek, geger le geger itu.....
Tut, Tut, Tut, suara lori sangat bising
Siapa lagi yang komunis itu bawa ?, Pikir kami
Kami bersembunyi dibalik lemari, di bawah kolong, ndelek, kami takut diculik
Puluhan praja berbaris ketakutan, kabarnya mereka digelandang jalan kaki dari Kota Magetan
Ya, Allah Gusti pengen slamet kula, ini hanya kata yang dapat terucap sebelum gedoran pintu menggerebek rumah kami
Kami diikat, dibawa ke sebuah tempat bersama banyak orang
Lalu ada kabar pasukan kantong dari Jawa Barat tiba
Mereka membebaskan kami, pasukan hijrah begitulah mereka menamai diri mereka sendiri
Peluru-peluru mereka menghantam merah hitam yang lapuk
Debu-debu terbang dengan gegap menyambut meriam menggelegar ditembakan
Kami pulang, dan saudara-saudara kami tewas dalam lubang-lubang biadab itu
Kelakuan barbar macam apa ini ?, mereka dilempar batu hingga darah terjun bebas keluar daging mereka
Haaaaah.... revolusi ?, lemah bengkok opo ?, seng mati wes wuakeh....
Sudah itu saja....
Mbah, coba kita buka jendela
Gunung Bancak masih kokoh disana
Dia tetap tenang walau pernah menyaksikan darah bertebaran di kota kecil ini
Siliwangi telah membebaskannya dari tangan kaum Stalinis tanpa satu perisai pun roboh
Gorang-Gareng kembali tenang dalam gema kemerdekaan
Kini monumen-monumen itu masih menancap,
Mereka tanpa ragu bercerita dalam bisu
Mungkin angan-angan di angkasa menyampaikan salam jumpa
Matur nuwun Mbah, samudera biru nan luas telah membuka kapal kami menuju daratan