Ketika mendengar nama Amir Syarifuddin, banyak orang yang mengesankan bahwa Amir ialah seorang pemberontak atau penghianat bangsa. Cap pemberontak dan penghianat bangsa tersebut berkat suksesnya propaganda anti-Komunis selama Orde Baru. Salah satu bentuk propaganda tersebut, menganggap semua Komunis anti agama. Akibatnya tokoh seperti Tan Malaka ikut terkena dampaknya dan status pahlawan nasionalnya ditutupi, meskipun sekarang namanya mulai terang kembali.
Sebelum peristiwa 1948, Amir merupakan tokoh yang dihormati. Ia pernah terlibat di dalam sumpah pemuda tahun 1928. Di era Jepang ia terlibat dalam Geraf (Gerakan Anti Fasis) yang mengakibatkan dirinya ditangkap dengan ancaman hukuman mati oleh pihak Jepang, namun berkat intervensi dari Soekarno, hukuman mati terhadap Amir dibatalkan.
Pasca kemerdekaan, Amir menduduki beberapa jabatan penting, seperti menteri penerangan, menteri pertahanan, serta jabatan tertinggi yang pernah didudukinya ialah perdana menteri. Namun pasca perundingan Renville, kabinet Amir Syarifuddin jatuh akibat kekecewaan hasil perundingan dari berbagai pihak. Menurut Harry A. Poeze yang meneliti Madiun Affair 1948 , Amir saat itu di bawah tekanan dan mundur sebagai perdana menteri tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan partai pendukungnya.
Pasca mengundurkan diri sebagai perdana menteri, Amir mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada bulan Februari 1948 di Surakarta. Menurut David Charles Anderson yang juga meneliti mengenai Madiun Affair 1948 dari aspek militer, FDR mempunyai pengaruh kuat di dalam Divisi Panembahan Senopati (Divisi TNI yang berkedudukan di Surakarta). Disamping itu menurut Soelias yang meneliti mengenai gerakan perjuangan pemuda sosial Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) , Amir juga mendukung pendirian Pesindo yang pada akhirnya Amir mempunyai pengaruh kuat di dalam Pesindo. Dukungan dari tentara-tentara di Divisi Siliwangi maupun Pesindo, membuat FDR semakin kuat, ditambah di dalam FDR bergabung pula PKI.
Meskipun FDR mempunyai pengaruh yang kuat, dan ketokohan Amir di FDR kuat, namun menurut Harry. A.Poeze yang mengambil keterangan dari Ali Sastroamidjojo, Amir tidak dalam keadaan normal secara mental karena ambisi yang besar untuk berkuasa namun tidak mampu mencapai ambisi tersebut serta Amir sering marah-marah dan mengancam hendak memukuli istrinya yang pada akhirnya Amir tunduk di bawah pengaruh Musso. Jadi dapat dikatakan bahwa saat peristiwa Madiun Affair 1948, Amir dalam keadaan depresi.
Sebenarnya Amir begitu paham soal nasionalisme, menurut Hersri Setiawan yang pernah mewawancari salah satu tokoh FDR Soemarsono, bahwa Soemarsono disadarkan nasionalisme dan patriotismenya oleh Amir. Oleh sebab itu Soemarsono menjadi pengikut setia dari Amir, dan selama Madiun Affair 1948 menjadi pengikut setia Amir Syarifuddin. Namun entah disadari atau tidak oleh pengikutnya bahwa Amir dalam keadaan depresi saat itu, atau memang kedepresian Amir dimanfaatkan baik oleh kawan maupun lawan politiknya untuk mendapatkan pengaruh.
Dari pra Madiun Affair 1948 sampai pasca Madiun Affair 1948 hingga tertangkap dan peluru membunuh Amir, tidak ada penyesalan dari seorang Amir Syarifuddin akibat Madiun Affair 1948 yang dipeloporinya tersebut. Amir masih teguh bahwa ia tidak bersalah dan mungkin ia merasa akan menjadi pahlawan suatu saat nanti. Namun yang dipertanyakan, apakah rasa tidak bersalah itu disebabkan sebagai wujud ketidaktakutannya pada Mohammad Hatta yang saat itu menjadi perdana menteri ?, sebagai simbol perlawanannya kepada perdana menteri Mohammad Hatta ?, atau apakah ia sebenarnya malu tapi tidak mau kehilangan harga diri di dalam sejarah perjuangan Indonesia ?, atau kemungkinan lain yakni ia masih tenggelam dalam depresinya yang mendalam ?. Entahlah kemungkinan besar Amir Syarifuddin masih dalam keadaan depresi saat itu.
Sebenarnya apabila tidak mengikuti depresinya yang mengakibatkan peristiwa berdarah Madiun Affair 1948, kemungkinan besar Amir sudah menjadi pahlawan nasional. Namun pejuang itu, kini telah dicap sebagai penghianat bangsa yang mengobarkan pemberontakan di tengah kobaran revolusi nasional. Dari sini,, kita bisa mengambil pelajaran dari perjalanan hidup Amir Syarifuddin yakni “Di dalam politik selalu ada depresi ketika sedang di bawah, oleh sebab itu bagi seorang politikus perlu menekan dan mencegah serta mengendalikan stress, sebab tidak ada kenyamanan abadi di dunia politik”.
Referensi:
Anderson, D.A. 2008. Kudeta Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal Tentara?. Yogyakarta: Media Pressindo.
Poeze, H.A.2011. Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.