Seiring dengan peningkatan kualitas dan kecepatan internet dari 3G menjadi 4G LTE sejak tahun 2014, penetrasi internet di Indonesia semakin meningkat. Menurut survei yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), sejak tahun sejak 2018, penetrasi internet Indonesia konsisten mengalami kenaikan dari tahun 2018 sebesar 64,8%. Kemudian secara berurutan, 73,7% di 2020, 77,01% di 2022, dan 78,19% di 2023. Perkembangan positif penetrasi internet merupakan iklim yang baik bagi tumbuhnya ekonomi digital di Indonesia termasuk pada sektor keuangan.
Perlahan sektor keuangan di Indonesia mulai menuju ke arah digitalisasi dengan munculnya financial technology seperti e-wallet, peer to peer lending, personal asset management, dan digital payment sejak tahun 2015. Tren ini berkembang dengan semakin pesat, terutama di masa pandemi COVID-19 ketika interaksi sosial dibatasi dan mengharuskan masyarakat bertransaksi secara daring dengan menggunakan fintech. Kehadiran fintech selanjutnya mengubah cara masyarakat bertransaksi meskipun pandemi covid-19 telah mereda. Selain itu kehadiran fintech juga merombak peta persaingan di sektor keuangan dan perbankan. Bank-bank konvensinal menyadari bahwa model bisnis tradisional mulai tidak relevan seiring perubahan perilaku masyarakat sehingga memaksa beberapa perbankan tradisional untuk beradaptasi dan berinovasi dengan bertransformasi menjadi bank digital. Selain dari sektor swasta, digitalisasi keuangan juga didorong oleh Bank Indonesia melalui diluncurkannya QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard) sehingga memudahkan transaksi digital masyarakat.
Hadirnya bank digital dan fintech membuat masyarakat tidak perlu lagi datang ke kantor bank untuk mendapatkan layanan keuangan karena masyarakat dapat mengakses layanan keuangan melalui gawai yang dimilikinya. Artinya digitalisasi keuangan membawa dampak pada peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Menurut survei nasional literasi dan inklusi keuanga (SNLIK) 2023 oleh OJK, inklusi keuangan Indonesia telah mencapai 75,02 persen. Angka ini cukup tinggi mengingat 75 persen masyarakat produktif telah dijangkau dan menggunakan keuangan formal untuk mencapai tujuan keuangannya. Namun ternyata, transisi keuangan digital ini bukan tanpa efek negatif. Dalam jangka pendek transisi keuangan digital menimbulkan beberapa problem seperti ekslusi keuangan hingga masalah stabilitas sistem keuangan.
Kiamat ATM Hingga Kesenjangan Digital: Ekslusi Keuangan di Era Transisi Keuangan Digital
Pengubahan model bisnis bank konvensional menjadi bank digital mendorong bank menutup beberapa mesin ATM dan kantor cabang sebagai langkah efisiensi bisnis dan untuk membiayai transisi model bank digital yang mahal. Menurut Bank Dunia (2022), tren penurunan unit ATM di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2017 dan konsisten hingga tahun 2021. Selain itu, menurut Laporan Surveillance Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jaringan kantor bank umum konvensional (BUK) di seluruh Indonesia tersisa 115.539 per triwulan IV-2023, atau berkurang 4.676 unit dari periode sebelumnya. Penutupan kantor cabang ini dapat berdampak pemutusan hubungan tenaga kerja (pengangguran meningkat).
'Kiamat' ATM dan kantor cabang Bank sebenarnya berimplikasi pada tingkat inklusi keuangan karena mengurangi akses masyarakat terhadap layanan keuangan sekalipun telah ada layanan digital. Kondisi ini dapat lebih parah jika penutupan terjadi di wilayah pedesaan dimana kebanyakan masyarakat desa belum secara penuh memahami sistem keuangan digital atau tingkat literasi digital yang lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan. Digitalisasi keuangan juga dianggap dapat merugikan kelompok masyarakat bawah mengingat mereka perlu memiliki perangkat seluler dan akses internet yang tiap tahun harganya sudah tidak lagi murah. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah agar dapat mendorong subsidi internet bagi masyarakat kelas bawah sehingga mereka tidak terdampak serius akibat adanya transisi keuangan digital.
Persaingan Fintech-Perbankan di Indonesia: Competition-Stability atau Competition-Fragility?
Perkembangan fintech yang pesat ternyata juga merombak peta persaingan perbankan. Fintech yang menjalankan model bisnis sebagaimana perbankan atau disebut sebagai shadow banking dianggap dapat mengikis eksistensi dan profitabilitas perbankan. Fenomena ini disebut sebagai kompetisi yang mengancam kerapuhan pada perbankan (competition-fragility). Sebagai respon, bank konvensional akan semakin ekspansif menyalurkan kredit dengan tidak lagi memberikan persyaratan ketat sehingga berdampak pada tingginya tingkat gagal bayar atau disisi yang lainnya meningkatkan bunga pinjaman untuk menarik dana pihak ketiga lebih besar. Umumnya ini dilakukan oleh pendatang (entrant) bank digital untuk merebut pangsa pasar bank besar.