Lihat ke Halaman Asli

Kasih Tuhan di Sebungkus Rempeyek

Diperbarui: 19 Januari 2016   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kasih Tuhan di Sebungkus Rempeyek

                Jaman menjadi serba sulit, semua hal seperti diluar kontrol. Bahkan untuk menjangkau kebutuhan paling dasar saja aku mesti bergumul. Suatu pagi kupingku kembali mendengar perbincangan asik di sudut gang kecil dekat rumahku, ibu-ibu kembali membentuk kelompok diskusinya yang sering kusebut dengan “rasan-rasan”….hahahahahaha

Banyak hal mereka bahas, mulai dari mencari-cari kesalahan tetangga, ungkapan iri hati atas kesuksean tetangga, dan yang paling asik buatku kebutuhan pokok yang semakin mahal harganya. Beribu-ribu bahasan tentang mahalnya beras, mahalnya telur, dan mungkin sedikitnya gaji suaminya, belum lagi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka yang selalu menguras biaya terbanyak. Tema itu selalu menghiasi pagiku yang bingung mencari gerak tubuh. Aku selalu menyempatkan duduk sejenak memasang telinga setajam mungkin untuk mendengar tema itu.

                Satu hal yang membuatku sedikit bingung di tengah kesulitan mereka masih ada saja yang memegahkan diri ditengah kekurangannya, dengan bangga salah satu mereka menceritakan kesuksesan anaknya meskipun sedikit ironi buatku, bagaimana mungkin mereka bisa bangga pada anaknya yang lupa sengsara ibunya di kampung, anaknya yang lupa bahwa untuk sekedar menanak nasi ibunya harus utang beras ditoko deket rumah. Apa yang mereka banggakan????di situ aku selalu merasa bingung.

                Di salah satu pagi ak kadang juga mendengar seorang istri yang menuntut habis suaminya karena sedikitnya gaji kerjanya. Salah satu kalimat yang masih membekas di hatiku “pak kerjomu koyok’e soro tapi bayaranmu pancet gak cukup gae mangan”, jawab sang suami dengan lembut “sing sabar bu…sing penting ora sampek gak mangan”…..di titik itu aku selalu melihat sosok seorang suami yang sangat sabar, suami yang penuh ucapan syukur. Di titik itu pula aku melihat kejamnya istri, aku tidak tau paradigma apa yang mereka pakai,  atau egois apa yang hinggap di diri ibu itu, kenapa tidak ada sedikitpun niat untuk membantu suami mencari uang dari pada selalu sambat dengan keadaan hidupnya.

                Sejak tahun 2007 aku tidak lagi mendengar perbedabatan suami-istri di keluargaku, karena di tahun itu ak hanya tinggal dengan ibu. Keadaan yang memaksa orangtuaku bercerai. Sejak itu pula aku tau betapa sulitnya hidup tanpa nafkah dari suami. Nasi putih, tahu goreng, dan sambal bawang sudah cukup buat kami mengetahui pemeliharaan Tuhan nyata dalam keluargaku. Hidupku dan ibu terombang-ambing, kadang kami hanya makan dengan nasi dan kerupuk saja. Huh…pahit ketika harus mengingat masa-masa itu. Kami harus tinggal menumpang dirumah saudara, dan di situ kami tidak tau lagi apakah kami sebagai saudara atau pembantu rumah tangga, sangat beda tipis buat kami.

                Tahun 2013 kami memutuskan kembalike rumah kecil kami dikampung. Disitu kami memulai sebuah kisah baru, cerita baru, perjalanan baru sebagai sisa dari keluarga yang dulu pernah utuh. Hidup seperti sangat sulit ketika kami memluai hal baru di sini. Sering sekali aku berangkat kuliah menaiki motorku yang sedikit butut dan pulang menuntunnya hingga rumah karena bensin hanya cukup membawaku berangkat namun tidak cukup membawaku pulang. Tak jarang aku harus berbohong ketika tetangga bertanya ”kenapa motornya” dengan wajah yang meyakinkan aku menjawab mogok bu, mungkin businya…..andai mereka tau kalau ternyata bensin yang penyebab dari hal itu pasti ada tema baru esok pagi di diskusi mereka. Dititik itu aku masih memiliki suatu kebanggan akan ibuku, dengan lembut beliau selalu berkata “sing sabar le”. Ak hanya menganggukkan kepala sambil menyembunyikan tangisku.

                Ibu harus bekerja keras menghidupiku, membayar biaya kuliahku, aku seperti seorang laki-laki yang tak berguna saat itu. Pegadaian selalu menjadi solusi buat kami ketika ingin makan. Barang-barang sisa keluarga kami satu persatu keluar masuk di pegadaian itu, kadang untuk makan kadang untuk biaya kuliah. Mulai dari tape, blender, mixer, sampai celana jeans milikku. Pegadaian seperti menjadi solusi terbaik buat kami saat itu. Tak kurang kami berdoa agar dicukupkan, tak kurang kami meminta Tuhan meringankan beban kami, namun rupanya kamibelum beruntung.

                Sampai pada suatu saat ibuku mulai mencoba berjualan es campur di depan rumah. Aku tau betapa susahnya penjual es ketika berjuang melawan hujan. Kadang sehari hujan turun mulai pagi hingga malam dan tak satu mangkokpun es terjual. Ibuku tidak pernah putus asa di situ, dua bulan penuh akirnya ibu memutuskan untuk berhenti jualan. Di titik itu kami merasa sulit sekali, aku harus membayar uang ujian semester namun dari mana kami mendapatkan uang ????

Aku berdoa siang malam agar Tuhan menyediakan uang ujian semesterku. H-1 Tuhan memberiku solusi, surat dispensasi penundaan pembayaran ujian semesterku di terima dan aku bisa mengikuti ujian semester. Kami bersyukur luar biasa di situ. Ibu selslu berkata cepat selesaikan kuliahmu.

                Akhir 2014 menjadi saat tersulitbuat kami, aku ada di periode penyusunan skripsi yang selalu menguras biaya. Banyak sekali biaya yang kami butuhkan waktu itu. Aku selalu menangis meminta tolong ke Tuhan. Karna Pegadaian sudah tidak bisa memberi kami solusi waktu itu. Barang-barang kami habis tidak terambil di pegadaian itu, tidak ada lagi yang bisa kami gadaikan. Aku putus asa dititik itu aku ingin mengakiri kuliahku, karena tak mungkin ada biaya untuk melanjutkannya, aku berpikir aku harus kerja dulu. Tapi ibuku bilang dengan tegas “kamu harus tetep selesaikan kuliahmu, sedikit lagi le” masalah biaya biar ibu yang cari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline