Lihat ke Halaman Asli

Yoga PS

Laki-laki yang ingin mati di pagi hari :)

Togog

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="246" caption="Togog"][/caption]

Dalam cerita pewayangan, selalu ada dikotomi. Hitam melawan putih. Kanan melawan kiri. Baik dan buruk. Termasuk urusan tokoh. Ada Pandawa, ada Kurawa. Pandawa memiliki penasihat bernama Semar, sedangkan Kurawa mempunyai Togog.

Togog pada dasarnya seorang dewa. Ia lahir lebih dulu dari semar. Ia lahir dari telur Sang Hyang Tunggal. Kulitnya menjadi Togog, putih telurnya adalah Semar, dan kuningnya berupa Batara Guru. Suatu ketika, mereka berdebat tentang siapa yang pantas menggantikan Sang Hyang Wenang, penguasa para dewa.

Akhirnya diadakan kontes, mereka yang dapat memakan gunung dan memuntahkannya kembali akan menjadi pemenang. Togog yang mendapat giliran pertama langsung mencoba. Ia langsung mencaplok gunung itu. Malangnya, ia gagal. Ilmunya masih kurang. Hasilnya bibir Togog robek. Sejak itu Togog digambarkan sebagai sosok bermulut dower, bermata juling, hidung pesek, tak bergigi dan berkepala botak.

Togog hanyalah symbol, tentang nafsu angkara murka. Pelajaran bagi manusia yang ingin menguasai semuanya, pada akhirnya tak akan mendapatkan apa-apa. Dan manusia modern lebih sakti daripada Togog. Zaman sekarang, bukan hanya gunung yang dimakan. Hutan, laut, sampai isi perut bumi terus disikat.

Togog abad 21 lahir dalam model hyper konsumsi. Mengkonsumsi semuanya. Menikmati segalanya. Menguasai semua yang ada. Lihatlah problem masyarakat modern: terus merasa kekurangan. Mobil kurang mewah, rumah kurang luas, gadget kurang canggih, fashion kurang modis, tabungan kurang banyak.

Tanah

Memang takkan penuh mulut manusia sebelum ia ditutupi tanah. Dalam cerita pendek Leo Tolstoy, Seberapa Luas Tanah yang Diperlukan Seseorang? Tersebutlah seorang petani bernama Pakhom. Awalnya ia hidup miskin, dan berkat usahanya, ia bisa mendapatkan tanah yang lebih luas.

Tapi bisikan nafsu terus mengganggu. Ia tergoda untuk memiliki tanah yang lebih luas lagi. Akhirnya ia datang ke sebuah daerah dan dia mendatangi orang-orang Bashkir untuk membeli tanah yang ia anggap masih tergolong murah. Pakhom diterima oleh Starshina (kepala suku), dan melakukan pembelian dengan transaksi yang berbeda dari jual beli tanah pada lazimnya.

”Berapa ukuran tanah untuk harga itu?” Pakhom bertanya sambil menyebut jumlah uang.

”Kami tidak menghitung dengan cara itu,” kata Starshina. ”Kami hanya menjual menurut harinya. Artinya, sebanyak tanah yang engkau dapat peroleh dengan mengelilinginya jalan kaki dalam sehari, sebanyak tanah itu adalah milikmu. Itulah tawaran kami, dan harganya ialah 1000 rubel”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline