Lihat ke Halaman Asli

Yoga Prasetya

Penjelajah

Pengalaman Mengajar Anak PAUD hingga Mahasiswa, Manakah yang Paling Berkesan?

Diperbarui: 21 November 2020   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

"Guru terbaik adalah sebuah pengalaman. Maka, carilah sebanyak-banyaknya pengalaman sebelum ajal datang menjemput. Dan, sebaik-baik pengalaman ialah yang membuat kita dekat kepada Tuhan." - YP

Tahun 2010, saya resmi menjadi seorang mahasiswa fakultas pendidikan di Universitas Jember. Teori pendidikan diajarkan secara terstruktur di kampus. Dalam kejenuhan memahami teori, saya merasa ada yang kurang.

Ibaratnya, pemain bola hanya belajar teori bola. Terus kapan main bolanya? Akhirnya, tahun berikutnya, saya memberanikan diri melamar kerja menjadi guru. Sayang sekali, saat itu guru bahasa Indonesia kurang diminati. Jadi, saya malah diterima menjadi guru mengaji anak paud dan TK di lembaga pendidikan Islam Jember.

Beruntung saya punya bekal ilmu dari pesantren. Kesan saya saat mengajar anak PAUD dan TK adalah seperti jadi "babysitter". Tak hanya belajar Al-Qur'an, mereka juga perlu dibimbing untuk makan siang, hingga mandi sore. Baru setelah mandi, saya mengantarkan anak didik ke orang tuanya.

Pekerjaan itu saya lakukan selama sebulan dan digaji Rp 1.000 perjamnya. Saat itu, saya berpikir cari pengalaman dulu. Itulah pekerjaan pertama saya dalam hidup.

Kinerja saya yang baik selama sebulan di lembaga itu berbuah manis. Salah satu rekan kerja mengajak saya "naik pangkat" mengajar anak SD. Sistemnya adalah les privat. Saya datang ke rumah anak tersebut dari sore hingga malam.

Alhamdulillah, waktu itu gajinya lumayan untuk membeli buku perkuliahan dan uang bensin. Kesan paling terasa saat mengajar anak SD adalah saya merasa seperti menjadi kakaknya. Bahkan, saya sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh orang tua anak didik saya.

Masuk semester akhir, ada program PPL. Saya memilih untuk mengabdi di SMPN 1 Rambipuji sembari tetap menjadi guru les privat. Namun, bukan lagi mengajar anak SD tetapi siswa SMP yang duduk di bangku kelas 9.

Berbeda saat mengajar anak SD yang harus menguasai semua mata pelajaran, saya kini fokus pada materi bahasa Indonesia saja. Kesan mengajar anak SMP adalah awalnya saya merasa kesulitan memahami mereka. Anak SMP itu dikatakan anak kecil tidak mau karena mereka bukan lagi anak SD. Namun, kelakuannya masih cenderung seperti anak SD. Pusing dah pala Pak Guru.

Ketika mulai mengerjakan skripsi, maka perlahan saya sudah mengurangi jam les mengajar anak SMP. Namun, rezeki lain datang. Salah satu rekan guru les, menawari saya menjadi pengajar anak SMA yang bekerja sama dengan kampus Politeknik Negeri Jember.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline