Lihat ke Halaman Asli

Yoga Prasetya

Penjelajah

Seribu Cerpen Sang Sastrawan (Sebuah Perjalanan dan Pembelajaran)

Diperbarui: 14 November 2020   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Olah Pribadi

Menjadi sastrawan atau pujangga membutuhkan proses yang panjang. Bahkan, tak sedikit seorang penulis novel/cerpen/puisi yang enggan disebut sastrawan. Selebihnya, seperti saya, sastrawan taruna. Orang yang bangga menjadi guru dan sastrawan/pujangga tetapi karyanya belum terlalu bisa dikategorikan hebat.

Meski demikian, bukan berarti saya berhenti berinovasi. Setelah sebelumnya menulis antologi puisi "Sejuta Puisi Sang Guru" dan novel "Kisah Gaib Sang Guru", kini saya melanjutkan membuat kumpulan cerpen dengan tajuk "Seribu Cerpen Sang Sastrawan". Nanti isinya berupa cerita pendek yang saya tulis dengan topik-topik tertentu, misalnya fiksi teenlit.

Fiksi teenlit merupakan salah satu genre yang menarik untuk dibuat cerpen. Namun, pada tulisan kali ini, saya tidak akan berbagi sebuah cerpen tetapi lebih pada mendeskripsikan perjalanan saya dalam mengenal sastra, khususnya cerpen. Bisa dibilang tulisan ini adalah bentuk implisit dari mengajar di Kompasiana. Berikut perjalanan inspiratif yang nantinya akan memengaruhi tulisan-tulisan saya dalam "Seribu Cerpen Sang Sastrawan".

2010 - Mengenal Teori Sastra

Saat itu usia saya masih 18 tahun dan sedang menggandrungi fiksi teenlit, khususnya percintaan dengan latar pesantren. Namun, ketika membaca buku karya Prof Dr. A Teeuw yang berjudul "Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra", lambat laun saya mulai beralih mencintai cerpen-cerpen kanon seperti "Bertengkar Berbisik" karya M Kasim.

2011- Sejarah Sastra Indonesia

Di tahun itu saya berkenalan dengan penulis cerpen dari berbagai angkatan. Mulai dari Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 1950, Angkatan 1970, dan angkatan 2000. Sepuluh cerpenis favorit saya waktu itu ialah (1) H. Ali Akbar Navis "Robohnya Surau Kami", (2) Umar Kayam "Seribu Kunang-kunang di Manhattan", (3) Helvy Tiana Rosa "Lelaki Kabut dan Boneka", (4) Dewi Lestari "Lara Lana", (5) Mochtar Lubis "Kuli Kontrak", (6) Korrie Layun Rampan "Riam", (7) Damhuri Muhammad "Mardijker", (8) Gus tf Sakai "Orang Bunian", (9) Budi Darma "Tangan-tangan Buntung", dan (10) Kipandjikusmin "Langit Makin Mendung".

2012- Kritik Sastra

Selesai membaca "Langit Makin Mendung" yang sangat kontroversial, saya mulai mendapatkan kritik dari teman-teman saya. Mereka lalu menyarankan saya untuk mendalami cerpen Emha Ainun Nadjib saja. Bukan apa-apa, saat itu saya sedang menempuh mata kuliah kritik sastra. Mereka merekomendasikan kumpulan cerpen Emha berjudul "BH".

2013 - Retorika

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline