Saat ini jika perhatikan berita, baik di media cetak maupun di media elektronik, tak henti-hentinya mereka menayangkan keterpurukan ekonomi negeri kita tercinta ini. Saya akui ini memang isu yang begitu penting karena nilai rupiah terus berada di kisaran Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat. Banyak yang menuding bahwa ini akibat pengaruh dari luar Indonesia yang diperparah dengan buruknya kinerja tim ekonomi pada masa pemerintahan Jokowi-JK ini. Untung saja lesunya ekonomi ini tidak berpengaruh banyak bagi diri saya pribadi. Toh kebutuhan-kebutuhan masih dapat terbeli dan menurut saya harganya tidak jauh beda dengan beberapa bulan kemarin sebelum ekonomi terpuruk. Daripada sibuk mengkritisi pemerintah, menurut saya lebih bijak bila kita belajar untuk mengatur keuangan pribadi. Bagi pegawai yang hanya mengandalkan gaji bulanan dan hidup di Jakarta seperti saya ini, mengatur keuangan pribadi sangatlah penting. Jika tidak maka saya tidak akan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa depan yang memang bersifat penting tetapi membutuhkan biaya ekstra.
Ada yang bilang hidup di Jakarta ini mahal. Menurut saya tidak juga karena semua pilihan berada di tangan kita, tinggal seberapa bijak kita memutuskannya. Jika kita memilih sebagai orang yang “secukupnya saja” atau orang jawa bilang “sak madyo” maka kita tidak akan keteteran dalam memenuhi kebutuhan hidup. Di Jakarta ini kita mencari yang murah ada, yang mahal pun juga ada, yang berada di tengah-tengah juga ada, tinggal menyesuaikan budget kita saja. Seperti halnya makan, saya lebih suka ke warteg atau di kaki lima yang harganya lebih murah, akan tetapi saya juga mempertimbangkan kebersihan dan enak tidaknya masakan tersebut. Jangan mentang-mentang mau hidup ngirit lalu kita mencari yang seadanya dan mengorbankan kesehatan kita. Di kota ini pula saya belajar bahwa jika menuruti keinginan maka tak akan ada habisnya selama uang di rekening masih ada. Bagaimana tidak, berbagai tempat belanja ada di kota Jakara ini, mulai dari mall, pusat elektronik dan peralatan rumah tangga, pusat penjualan gadget dan masih banyak lagi termasuk tempat hiburan. Jika saya tidak bisa mengendalikan diri, maka uang akan terbuang sia-sia untuk membeli barang yang sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan. Untuk menyiasati hal ini, kita harus membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Hal ini hanya kita sendiri yang tahu, sehingga kita lah yang harus memutuskan.
Kota Jakarta ini begitu heterogen, jika saya sedang lewat di jalan seringkali saya melihat mobil-mobil mewah yang berseliweran, akan tetapi tak jarang juga saya melihat kampung-kampung kumuh yang sebenarnya tak layak huni. Itulah yang disebut kesenjangan, jika ingin menjadi bijak tempatkanlah diri di tengah-tengah sehingga bisa melihat ke bawah maupun ke atas. Menyambung pernyataan saya tentang kebutuhan vs. keinginan tadi, ada kalanya keinginan yang muncul karena didorong oleh gengsi. Jika ini terjadi habislah kita yang bergaji pas-pasan. Sama seperti menuruti keinginan, menuruti gengsi pun tidak akan ada habisnya, karena di atas langit masih ada langit. Sah-sah saja sih membeli sesuatu yang baru dan mahal, tetapi itu dilakukan karena kita memang barang itu berkualitas dan kita butuh secara pribadi, bukan untuk mendapatkan komentar “wah” ataupun penilaian dari orang lain. Terkadang hidup ini memang kejam, karena kita dinilai berdasarkan apa yang kita pakai dan bukan karena kepribadian kita. Kalau sudah begini carilah lingkungan pergaulan yang positif, yang bisa merubah kita menjadi pribadi yang lebih bijak khususnya dalam mengatur keuangan.
Satu hal yang sangat sulit memang membiasakan gaya hidup seperti kemarin dengan pendapatan yang sekarang ini. Maksud saya adalah misalnya kita pernah berkuliah dan saat ini sudah bekerja, cobalah seolah-olah bergaya hidup pas-pasan ala mahasiswa S1 yang hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tua ketika kita telah dibayar dengan gaji seperti pada saat ini. Walaupun itu sulit saran saya cobalah menerapkan hal tersebut. Tetapi bukan berarti kita menjadi pelit dan menolak semua ajakan teman untuk sekedar bermain di akhir pekan. Biaya sosial di kota Jakarta ini memang mahal menurut saya, bahkan terkadang lebih mahal dari uang makan yang bisa digunakan untuk seminggu. Maka pintar-pintarlah dalam menerima dan menolak ajakan teman, sesekali nongkrong ke café yang sedikit mahal tidak masalah, asalkan tidak terlalu sering. Toh kita juga membutuhkan penyegaran dari rutinitas tiap hari yang begitu melelahkan.
Selama di rekening masih ada uang, apalagi jika kita mempunyai kartu debet atau kartu kredit, belanja terasa begitu mudah, sehingga tanpa sadar kita telah mengeluarkan uang banyak melalui kartu tersebut. Maka dari itu melakukan hal-hal yang saya sarankan tadi juga begitu sulit jika kita masih merasa mempunyai pasokan uang yang cukup di dalam rekening. Untuk itu saya menyarankan supaya kita mengetatkan ikat pinggang, atau dalam arti yang sebenarnya merampingkan rekening tabungan kita. Bagaimana caranya?. Tentukanlah batas bawah atau cadangan minimal yang ada di rekening. Misalnya Rp 3 juta saja. Dengan begitu mau tidak mau kita harus berhati-hati jika ingin mengeluarkan uang dan kita dapat mengerem keinginan kita untuk membeli ini itu. Akan tetapi jika dengan kita masih leluasa berbelanja dengan uang yang tersisa di rekening sebesar Rp 3 juta, maka turunkanlah cadangan minimal misalnya menjadi Rp 2 juta, begitu seterusnya. Tentu kita tidak bisa macam-macam lagi karena jika uang digunakan untuk yang tidak penting bisa-bisa kita tidak makan. Lalu bagaimana kita uang kita melebihi cadangan minimal?. Pindahkanlah uang tersebut ke tempat yang kira-kira susah ketika kita ingin mengambilnya. Jika kita belum mempunyai atau membuka bisnis yang memadahi, saya sarankan tempatkalah uang tersebut untuk berinvestasi. Jika uang terbatas investasi ini bisa ditempatkan di deposito, reksa dana, maupun emas. Intinya jangan biarkan uang mengonggok di rekening, orang ekonomi menyebutnya “idle money”, jadi putarkanlah uang tersebut. Selain itu jangan lupa bersedekah karena itu bisa melindungi harta kita. Jangan lupa pula anggarkan asuransi kesehatan serta biaya tak terduga yang bisa kita ambil apabila dalam keadaan darurat kita memerlukannya. Jika sudah melakukan ini setidaknya kita punya persiapan untuk menghadapi kebutuhan yang semakin besar di masa depan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H