Kasus IM2 kini menjadi sorotan dunia internasional. Bagaimana tidak? Baru-baru ini New York Times merilis pemberitaan terkait 3 kasus kriminalisasi di Indonesia. Artikel NYT yang berjudul "Indonesia's Graft Fight Strikes Fear Even Among the Honest", ini menyebut IM2, Merpati, dan Chevron adalah perusahaan-perusahaan yang menjadi korban kriminalisasi hukum di Indonesia. Selain perusahaan-perusahaan tersebut, kasus ini juga turut menyeret para pimpinan perusahaan sebagai terdakwa.
Tak hanya menyebut soal kriminalisasi kasus IM2, Merpati, dan Chevron, NYT juga turut mengaji upaya pemberantasan korupsi yang tengah gencar menjadi fokus pemerintah. Hal ini tentulah bernilai positif bagi pembangunan kultur transparansi di Indonesia. Namun bagaimana jadinya jika pemberantasan korupsi ini malah menempatkan orang-orang tak bersalah di kursi pesakitan? Tentu saja ini adalah hal yang paradoks, bertolak belakang dengan esensi pemberantasan korupsi itu sendiri. Inilah kenyataan yang terjadi pada 3 kasus di atas.
Sebut saja salah satunya, yaitu kasus IM2. Kejaksaan Agung telah mendakwa Indar Atmanto, mantan Dirut IM2 dengan hukuman penjara selama 8 tahun. Tak hanya itu, IM2 sendiri dikenakan kewajiban untuk membayar kerugian sebesar Rp 1,3 triliun. Banyak pihak menyorot kasus ini, termasuk para stakeholder yang berkecimpung di dunia telekomunikasi. Para stakeholder ini sepakat bahwa banyak kejanggalan dalam kasus IM2. Bagaimana tidak? Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan 2 putusan kasasi yang justru isinya sangat bertolak belakang. Putusan kasasi pertama, tertanggal 10 Juli 2014, dengan No.787K/PID.SUS/2014 menyatakan jika Indar Atmanto harus dihukum kurungan penjara, dan IM2 diwajibkan membayar kerugian negara. Di sisi lain, MA kembali mengeluarkan putusan kasasi kedua tertanggal 21 Juli 2014, dengan No.263K/TUN/2014 dimana isinya adalah hasil audit BPKP yang menyebutkan jika IM2 telah merugikan negara sebesar Rp 1,3 triliun, ditolak. Seharusnya dengan putusan kasasi ini, Kejaksaan Agung tidak keukeuh akan mengeksekusi IM2 dengan dasar merugikan negara. Namun kenyataannya, percobaan eksekusi tetap dilakukan.
Tak hanya soal 2 putusan kasasi keluaran MA yang saling bertolak belakang, namun kejanggalan lain dilihat dari tidak adanya pendapat pemerintah industri terkait yang dijadikan pertimbangan bagi aparat hukum dalam melihat kasus IM2 ini. Kemenkominfo dari zaman Tifatul Sembiring hingga saat ini, Rudiantara, semuanya sepakat jika kerjasama Indosat dan IM2 ini tidaklah melanggar regulasi yang ada. Sayangnya, keterangan ini tidak ikut dipertimbangkan.
Ok, apa kabar ini? Apa yang sedang terjadi dengan sistem hukum Indonesia? Masih adakah bentuk keadilan untuk orang-orang yang tidak bersalah? Saya sendiri hanya bisa berharap jika kasus-kasus seperti ini segera tuntas dan orang-orang tak bersalah bisa segera dibebaskan. Saya masih optimis kalau Indonesia bisa menjadi negara bebas korupsi, yang tidak menodai perjuangan anti korupsi itu sendiri.
Source:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H