Lihat ke Halaman Asli

Yoesrianto Tahir

Medical Advisor PT. Otsuka Indonesia

Mengatasi Akar Masalah Gizi: Upaya Menyelamatkan Generasi Bangsa

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Siaran Pers

Menyambut Hari Gizi Nasional, 25 Januari 2012

Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi

"Mengatasi Akar Masalah Gizi: Upaya Menyelamatkan Generasi Bangsa"

Jakarta, Minggu, 22 Januari 2012.

Dalam rangka memperingati Hari Gizi Nasional tahun ini, Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi menyelenggarakan diskusi terbatas di sebuah Cafe di Bilangan Menteng Jakarta Pusat. Diskusi mengambil tema: "Mengatasi Akar Masalah Gizi: Upaya Menyelamatkan Generasi Bangsa".  Tema ini tidak bergeser jauh dari tema yang diangkat pemerintah, "Gerakan Gizi 1000 Hari menuju Indonesia Prima". Demikian dikemukakan Dr. Fitria  N. Pulukadang memoderatori diskusi kemarin.
Diskusi terbatas yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini, selain dihadiri pengurus Yayasan juga menampilkan dua nara sumber utama, yakni: Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Dr. Tirta Prawita Sari, MSc. dan A. Surahman Batara, SKM, M.Kes., pengamat muda kebijkan kesehatan dari Makassar.
A. Surahman Batara, SKM, Mkes., yang juga Ketua Umum Badko HMI Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat,  mengatakan ada tujuh kekeliruan  kebijakan pemerintah yang memperparah  masalah gizi di Indonesia. Ketujuh kebijakan tersebut adalah:

1)Masalah Gizi tidak terlepas dari masalah ekonomi. Peningkatan ekonomi masyarakat dgn sendirinya akan meningkatkan daya beli, sehingga masyarakat bisa mengkonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik.

2)Selain kemiskinan (ekonomi), bencana alam ikut mempengaruhi status gizi di Indonesia. Banjir, tanah longsor, tsunami, letusan gunung berapi dan bencana alam lain akan menghambat pemenuhan gizi di Indonesia. Bencana alam berpotensi menghalang proses distribusi bahan makanan sehingga bahan pangan yang ada tidak terdistribusi dengan baik.

3)Korupsi. Korupsi merupakan akar dari semua permasalahan di negeri ini. Tidak terkecuali kasus kekurangan gizi di Indonesia. Keterkaitan korupsi dengan masalah kekurangan gizi dapat ditinjau dari banyaknya anggaran yang disiapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun faktanya pembagian dana tersebut tidak tepat sasaran dengan bukti permasalahan yang tidak segera selesai.

4)Budaya Instanisasi adalah budaya serba instan atau dengan kata lain budaya tidak produktif. Budaya  ini tengah merambah ke berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Jika dilihat dari aspek ketahanan pangan di Indonesia, budaya Instanisasi inilah yang tengah menjajah bangsa ini sehingga melahirkan generasi yang malas, tidak produktif yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan diantaranya adalah pola konsumsi masyarakat. Ketika budaya ini mewabah ke seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia, budaya menanam bahan pangan di halaman sendiri  sudah hampir terkikis bahkan tidak ada. Masyarakat lebih menyukai membeli produk-produk instan seperti fast food dan junk food yang memiliki kadar gizi relatif rendah. Hal ini diperparah dengan menjamurnya waralaba yang bisa ditemui di setiap tempat sehingga mewadahi budaya instanisasi ini.

5)Stereotip masyarakat tentang gizi. Salah satu penyebab lain dari kasus gizi buruk di Indonesia adalah stereotip tentang masyarakat mengenai pentingnya kecukupan gizi. Anggapan tentang gizi yang menyebutkan bahwa gizi adalah suatu barang kebutuhan yang mahal. Padahal anggapan itu tidak selamanya benar.

6)Kurangnya sosialisasi program peningkatan kesejahteraan. Tidak dapat dipungkiri pada dasarnya ada beberapa usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Namun jika ditilik lebih jauh nampaknya pelaksanaannya masih membutuhkan berbagai perbaikan, diantaranya mengenai sosialisasi. Sebagus apapun program yang ditawarkan, jika sosialisasinya gagal maka percuma saja. Untuk program-program peningkatan kesejahteraan, misalnya bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada masyarakat berkategori miskin hendaknya merata dengan sosialisasi yang baik.

7)Kebijakan pemerintah terkait pengadaan bahan pangan. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait pengadaan bahan pangan tentu mempunyai andil yang cukup besar terhadap keberadaan bahan pangan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat berikut harganya. Pemerintah berwewenang mengambil kebijakan untuk impor atau ekspor bahan pangan. Selama ini pemerintah masih banyak mengimpor bahan pangan untuk memenuhi kekurangan bahan pangan dari dalam negeri. Namun impor bahan pangan yang tidak dikendalikan, dapat memperparah keterpurukan ekonomi Indonesia, karena hal tersebut dapat membunuh sektor pertanian yang seharusnya menjadi andalan bangsa ini.

Melanjutkan paparan Surahman, Dr. Tirta Prawita Sari, MSc, makin mempertajam dengan menyorot kebijakan gizi pemerintah. Menurut,  "kesulitan negara ini seringkali bukan pada penetapan tema. Secara umum, tema 1000 hari gizi itu sudah tepat sasaran dalam hal pengentasan masalah malnutrisi. Namun masalah pentingnya adalah pada pemilihan jenis intervensi". Entah mengapa, pemerintah lebih tertarik pada penyelesaian yang bersifat instan namun tidak bertahan lama.
Secara skematik, model penyebab malnutrisi pada balita menempatkan penyakit infeksi dan asupan makan yang tidak adekuat sebagai penyebab langsung. Secara harfiah ini menjelaskan bahwa dengan memberi makan atau mengatasi infeksi, malnutrisi dapat diatasi. Penyelesaian model ini harusnya bukanlah menjadi andalan. Karena kondisi minus pada dua faktor itu akan segera kembali bila penyebab tak diatasi. Secara politis tindakan kuratif jelas populer. Akan lebih mudah dikenang oleh masyarakat bila seseor
ang datang dengan sekardus mie instan pada suatu daerah dibandingkan dgn program pendampingan yang menawarkan intervensi berupa edukasi.  Imbuh Tirta.
Tirta yang juga dosen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Univ. Muhammadiyah Jakarta, kembali menegaskan bahwa pada tempatnya, "memberi makan" sudah pasti solusi terbaik, namun untuk menjaga kontinuitas pelaksanaan gizi seimbang pada level komunitas, hanya edukasi jawabannya disamping tentunya meningkatkan kemampuan finansial dan inovasi masyarakat untuk memperoleh makanan. Karena malnutrisi dan kemiskinan memiliki hubungan yg sangat erat.
Pemerintah sebagai pemegang otoritas pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan seharusnya meluangkan lebih banyak waktu dan kemampuan untuk menciptakan lingkungan kondusif sedekat mungkin dengan kondisi ideal. Dibandingkan mencurahkan segala daya upaya pada program kuratif, membagikan makanan (hilir), sepantasnya pemerintah bermain pada level hulu (non-gizi) yang justru memiliki efek yang lebih besar bila teratasi. Sebagai contoh, panduan gizi seimbang yang diluncurkan beberapa tahun lalu memperkenalkan penggunaan tumpeng gizi yang secara jelas menunjukkan komponen komposisi makronutrien sebagai unsur pokok keseimbangan. Namun sayangnya isu komposisi zat gizi dalam menu makanan sehari-hari kebanyakan masyrakat Indonesia masih terjebak dalam slogan lampau 4 sehat 5 sempurna, slogan yg terbatas pada jenis, bukan jumlah. Padahal, masyarakat di dunia sudah mulai membicarakan persentase jumlah karbohidrat/protein/lemak. Sementara kita masih berkutat dlm kampanye jenis makanan. Ungkap Tirta lebih lanjut.
Salahkah? Tentu tidak. Masyarakat adalah kelompok awam yang tak berdaya yang butuh dilindungi. Sebagai pemegang kekuasaan, sepantasnyalah digunakan untuk mengatur dan memerintah, bila perlu memaksa industri atau stakeholder yang berperan dalam penyediaan pangan masyarakat untuk secara sadar terlibat dalam menjaga kesehatan masyarakat. Saat negara tetangga mulai membatasi konsumsi gula sederhana dan garam, negara ini justru menerima dengan tangan lapang semua produk tersebut. Tak ada larangan, tak ada ketentuan. Mestinya sadar kalau negara ini terancam oleh bombardir budaya modern serba instan yang disirami oleh produk bergula dan garam tinggi. Sebagian anak-anak kita malnutrisi, namun dengan ancaman dan ketakberdayaan pemerintah, menjadikan kita sekaligus menghadapi beban gizi lain, obesitas dengan segala penyakit sangat serius yang menyertainya. Untuk beberapa hal, bersikap kaku dan tangan besi seringkali penting.
Dan untuk lebih mempertajam masalah berkaitan dengan 1000 Hari Pertama sebagaimana tema Hari Gizi Nasional tahun ini, maka sekalu Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi menghimbau kepada pemerintah sebagai berikut:

1). Memberikan perlindungan terhadap kesehatan ibu, termasuk di dalamnya kecukupan asupan nutrisi serta faktor lain yang dapat mengakibatkan terganggunya kehamilan;

2). Meninjau kembali regulasi yang berkaitan cuti hamil dan menyusui untuk kemudian menyusun regulasi baru  yang dapat menjamin ibu untuk dapat hamil dan menyusui selama enam bulan secara ekslusif tanpa disertai rasa takut kehilangan pekerjaan bagi mereka yang bekerja;

3). Pemenuhan hak-hak ibu yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan (edukasi) gizi seimbang secara terus menerus melalui  revitalisasi peran Posyandu;

4). Memperbaiki sistem surveillance gizi untuk menemukan kasus secara tepat dan melaporkan secara transparan untuk memastikan tercakupnya seluruh ibu hamil dan anak di bawah dua tahun yang mengalami masalah gizi;

5). Melakukan intervensi gizi sesuai derajat berat ringannya malnutrisi dengan pendekatan berdasar kearifan lokal untuk menjamin kontinuitas intervensi (murah, mudah, mujarab);

6). Mengurangi pemilihan intervensi yang bersifat  instan dengan dampak perbaikan yang hanya dirasakan dalam jangka waktu pendek (seperti donasi makanan tanpa diikuti proses pemberdayaan pangan);

7). Meningkatkan kedaulatan dan ketahanan gizi dan pangan;

8).  Menyusun sistem pembiayaan program kesehatan khususnya gizi yang tidak berorientasi proyek untuk menjamin kontinuitas program;

9). Memberdayakan ibu sebagai faktor penentu dalam 1000 hari pertama gizi;

10). Memperkuat kerjasama lintas sektor, mengingat masalah gizi bukan sesuatu yang berdiri sendiri.

Kontak nara sumber:

1.Tirta Prawita Sari (Hp. 08128209935; email: wita_toekino@yahoo.com)

2.A. Surahman. Batara (Hp.081354760930)

3.Fitria N. Pulukadang (Hp. 08124429289; email: Fitria@gmail.com)

(Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Plaza Hias Rias Lt.2 Room 033, Jl. Cikini Raya No.90, Jakarta Pusat 10330, telp/fax. 0213140157, email:gema.sazi@yahoo.co.id. Website: www.sadargizi.com)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline