Lihat ke Halaman Asli

Merawat Empati: Pelajaran dari Kebijaksanaan Jawa

Diperbarui: 25 November 2024   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam tradisi Jawa terdapat ungkapan "sawang sinawang" kurang lebih pengertiannya adalah melihat orang lain tidak dengan perasaan iri dan dengki, atau membandingkan pencapaian orang lain dengan kemalangan diri sendiri. Ungkapan ini mengajarkan cara pandang mendalam bagi individu untuk melihat dunia dengan apa adanya, bahwa ada kebaikan yang beriringan dengan keburukan nasib, bahwa tidak selalu apa yang terlihat baik dimiliki atau diperoleh orang lain itu terasa menyenangkan dan serba indah, tapi perlu juga untuk menyadari bahwa juga terdapat beban yang harus ditanggung.

Jadi berbeda dengan pandangan fatalistik yang lebih pesimis dalam menyikapi hidup, dengan pandangan bahwa kemalangan hidup tidak lagi dapat diupayakan alias pasrah dengan keadaan yang diterimanya.

Ungkapan "sawang sinawang" dalam tradisi Jawa menggambarkan peri kehidupan yang memanusiakan manusia, terlebih dalam memanusiakan diri sendiri, memperlakukan diri sendiri sebagai manusia untuk melihat dunia tampil apa adanya tanpa muatan kedengkian.

Lebih dari semua itu, ungkapan Jawa ini mengajarkan bahwa orang lain juga punya permasalahannya masing-masing yang belum tentu kita mampu menanggungnya. Maka jangan saling mengejek, menertawakan apalagi sampai merendahkan. Hal ini menuntun kita untuk dapat lebih berempati. Inilah yang tereduksi dalam kehidupan kita, empati.

Memang sudah menjadi ciri dari masyarakat industri yang kehilangan nilai-nilai sosialnya. Proses industrialisasi sangat mengutamakan efisiensi dan produktivitas yang pada akhirnya memicu perasaan terasing baik dari pekerjaannya sendiri, dari komunitas bahkan dari dirinya sendiri. Keterasingan ini dapat menghambat kemampuan seseorang untuk merasakan koneksi emosional dengan orang lain. Masyarakat industri cenderung menitik beratkan pada pencapaian individu dan kesuksesan pribadi yang pada akhirnya mengarah pada sikap egois. Pencapaian prestasi individu memang baik, tapi ternyata banyak faktor dalam masyarakat industri kita yang ternyata hampir tidak pernah memunculkan kualitas individualitas, malah kehidupan individualislah yang menguat.

Industrialisasi juga diwarnai dengan kemajuan teknologi, terutama sekali dalam hal teknologi komunikasi yang saat ini malah memunculkan permasalahan baru, yaitu interaksi online yang dangkal, menggantikan interaksi tatap muka yang lebih mendalam. Belum lagi kecenderungan masyarakat kita yang lebih gemar mengejar standar hidup yang memungkinkan untuk mengejek dan merendahkan kemalangan orang lain.

Sebenarnya empati merupakan jembatan bagi manusia menuju rasa kemanusiaannya, dan bukankah kita semua selalu ingin dimanusiakan? Sampai-sampai jargon pendidikan kita adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk Hal ini, Saya jadikan kebiasaan diawal tahun ajaran, di pertemuan awal dalam ruang-ruang kelas, karena saya juga ingin anak didik saya memahami betul sila ke dua pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dari sila ke dua ini bisa kita pahami bahwa Bangsa Indonesia mencita-citakan adanya masyarakat dan individu dalam masyarakat tersebut yang mau dan mampu memanusiakan manusia: mengenal dan menyadari siapa dan bagaimana manusia, setelah itu memandang sekaligus memperlakukan orang lain dan dirinya sendiri sebagai manusia untuk mewujudkan manusia yang beradab. Bukan manusia yang biadab yang gampang memandang rendah orang lain. Intinya, lagi-lagi adalah berempati.

Salah satu tanda hilangnya atau katakan saja melemahnya empati adalah sering munculnya kasus perundungan atau sering dibilang bullying, terutama sekali terjadi dikalangan pelajar. Perilaku bullying ini cukup memprihatinkan, disamping masih maraknya aksi tawuran antar pelajar yang sering dikabarkan media massa. Bagaimana mungkin bangsa yang mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kemanusiaan sebagai modal utamanya ini malah sering diresahkan oleh kemunculan perilaku-perilaku yang nir empati tersebut?

Dampak melemahnya empati memiliki implikasi serius. Apalagi jika hal ini terjadi dalam kalangan pelajar, pelajar yang tumbuh tanpa penguatan empati rentan untuk bersikap apatis terhadap permasalahan sosial, selanjutnya muncul perilaku kekerasan antar teman sebaya ataupun kurangnya solidaritas. Pada skala yang lebih besar, hal sedemikian itu dapat menghambat terbentuknya masyarakat yang peduli dan kohesif. Kalau sudah seperti itu, tentunya akan semakin jauh dari jati diri bangsa yang senantiasa diperkenalkan sebagai bangsa yang penuh kegotong royongan, gotong royong dasarnya juga kepedulian yang tinggi bukan?

Dari sini bisa dikatakan bahwa pendidikanlah yang punya peran penting dalam menumbuhkan dan memperkuat empati. Pendidikan memiliki peran penting dalam membangun karakter generasi penerus dan dalam skala luas membentuk masyarakat, yang mana sejalan dengan cita-cita bangsa yaitu terbentuknya masyarakat pancasila, masyarakat yang berpikir dan bertingkah laku sesuai nilai-nilai pancasila. Perlu diingat pula bahwasannya pendidikan bukan sekedar tanggung jawab sekolah dan keluarga, tapi terlebih juga merupakan tanggung jawab besar bagi masyarakat secara umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline