Demokrasi sebagai sebuah sistem bukanlah barang yang siap pakai, bisa dikatakan demokrasi merupakan sistem yang tidak matang. Sepanjang sejarahnya, demokrasi terus mengalami dinamika mengikuti perkembangan jaman untuk menemukan bentuknya yang paling ideal dan sesuai dengan alam masyarakat pelaksananya.
Socrates, filsuf Yunani kuno, memiliki pandangan kritis terhadap demokrasi. Dalam karyanya yang dicatat oleh Plato, melihat demokrasi sebagai sistem yang berisiko karena memberikan kebebasan kepada semua orang untuk memerintah, terlepas dari kapasitas mereka untuk memahami atau memimpin dengan bijaksana. Menurut Socrates, demokrasi seperti membiarkan kapal dikemudikan oleh siapa saja, tanpa memandang apakah mereka memiliki keahlian navigasi yang diperlukan. Ia berpendapat bahwa banyak warga negara mungkin tidak memiliki pengetahuan atau kebijaksanaan yang memadai untuk membuat keputusan politik yang baik, sehingga demokrasi berisiko jatuh ke dalam kekuasaan mayoritas yang tidak selalu bijaksana.
Salah satu kelemahan mendasar demokrasi menurut Socrates adalah kecenderungan masyarakat untuk dipimpin oleh para demagog. Demagog adalah pemimpin yang memanfaatkan emosi dan ketakutan rakyat untuk mendapatkan kekuasaan, tanpa memperhatikan kebenaran atau keadilan. Dalam konteks ini, demokrasi tidak menghasilkan pemerintahan yang bijak atau adil, tetapi lebih kepada pemerintahan berdasarkan popularitas atau kepentingan mayoritas, yang sering kali bisa salah arah.
Demikian, menyerahkan segala urusan kepada yang bukan ahlinya tidak akan membuat kita tenang, tapi demokrasi terbuka untuk itu. Hal ini juga sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." Hadits Bukhari 6015.
Lalu bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Sebenarnya para founding fathers Republik Indonesia telah mengantisipasinya sejak awal, lewat sidang BPUPK yang menghasilkan Piagam Jakarta. Para pendiri bangsa telah merumuskan demokrasi Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menekankan pentingnya demokrasi yang dijalankan dengan cara permusyawaratan yang mengedepankan kebijaksanaan. Prinsip ini mengajarkan bahwa setiap keputusan politik dan sosial harus diambil melalui musyawarah untuk mufakat, di mana kebijaksanaan dan keadilan menjadi panduan utama. Demokrasi yang diinginkan bukanlah demokrasi yang semata-mata didasarkan pada mayoritas suara, tetapi lebih kepada proses dialog yang mengedepankan kebijaksanaan bersama.
Coba renungkan pada bagian "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan" dalam sila ke empat Pancasila tersebut. Bahwa demokrasi kerakyatan dalam pelaksanaannya harus dipimpin oleh seorang yang berhikmat kepada kebijaksanaan. Bahkan frasa "berhikmat kepada kebijaksanaan" merupakan makna mendalam tentang upaya manusia untuk mencapai tingkat pemahaman dan tindakan yang lebih tinggi.
Hikmat lebih dari sekedar pengetahuan; adalah pemahaman mendalam tentang kehidupan yang menghasilkan tindakan yang bijaksana dan tepat, yang tentunya melibatkan kemampuan untuk melihat dengan jelas baik dan buruk; benar dan salah serta bertindak dengan cara yang bermanfaat bagi kepentingan bersama.
Kebijaksanaan merupakan kemampuan menerapkan pengetahuan dan pengalaman untuk membuat keputusan yang baik (kalaupun juga harus keputusan yang tepat), hal ini melibatkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dengan mempertimbangkan berbagai perspektif, dan bertindak secara bertanggung jawab.
Berhikmat kepada kebijaksanaan merupakan perjalanan yang tak pernah berakhir dengan terus berusaha untuk menjadi lebih bijaksana dengan tujuan utamanya adalah mencapai potensi penuh sebagai manusia dan menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik.
Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan disini adalah menyerahkan urusan kepada yang amanah dan ahli, bukan menyerahkan urusan kepada mereka yang hanya bermodal popularitas semata, apalagi kepada orang-orang yang memanipulasi kesadaran masyarakat untuk meloloskan kepentingan pribadi dan golongannya semata.