Lihat ke Halaman Asli

Membangun Sebuah Peradaban: Peradaban Pancasila

Diperbarui: 24 Juli 2022   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"A great civilization never goes down, unless it destroy is self from within"~Soekarno

Saya sangat percaya, bahwa sebuah bangunan kebudayaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan akan menjadi sebuah bangunan peradaban. Bagi saya peradaban memanglah tersusun dari kebudayaan/tradisi-tradisi yang dipertahankan karena dianggap cukup bermanfaat.

Sebaliknya, tradisi/kebudayaan yang jauh dari perikemanusiaan akan hilang dengan sendirinya ataupun dihilangkan secara paksa, mengingat kemanusiaan dimanapun dan kapanpun adalah sama. Segala yang tidak berperikemanusiaan apalagi hingga dianggap merugikan, akan ditinggalkan.

Para antropolog memakai kata "peradaban" untuk membedakan antara kelompok masyarakat yang dianggap memiliki kebudayaan unggul dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang bahkan mungkin dianggap tidak beradab atau memiliki kebudayaan yang jauh dari perikemanusiaan, hingga akhirnya sempat juga muncul pandangan bahwa masyarakat barat yang beradab dan masyarakat 'non barat' yang masih melakukan praktek-praktek tradisi yang (dikatakan) liar, bar-bar dan bahkan biadab.

Pendeknya, jika kita memakai cara pandang barat ini, maka masyarakat yang beradab menunjuk pada masyarakat yang memiliki kebudayaan maju, yaitu masyarakat yang tersentuh teknologi dan lebih-lebih adalah masyarakat dengan 'gaya' kebarat-baratan. Demikian itu karena teknologi selalu mempersyaratkan cara pengoperasiannya bahkan sebuah gaya hidup untuk mengiringinya.

Tapi, bukankah gaya hidup kebarat-baratan itu tidak semua bermoral? Sedang peradaban dicirikan sebagai masyarakat dengan kebudayaan unggul, dimana masyarakat ini lebih mengedepankan moral dan moral sendiri punya dasar kemanusiaan yang akan selalu sama dimanapun dan kapanpun.

Jadi, peradaban agung yang berumur panjang tentunya adalah susunan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana pula nilai kemanusiaan yang dicantumkan dengan tegas dalam pancasila, yang bahkan perlu dilengkapi dan dipertegas menjadi "kemanusiaan yang adil dan beradab".

Pertama-tama sekali orang haruslah mengenali 'manusia'. Dengan mengenali manusia/kemanusiaan itulah orang mampu memanusiakan manusia, dalam arti memanusiakan dirinya sendiri sekaligus memanusiakan orang lain. Orang harus mau dan mampu mengenali siapa dan bagaimana manusia itu? Dengan menyadari bahwa manusia yang makhluk paling sempurna itu juga masih punya kelemahan.

Kelemahan manusia tersebut, misalnya masih bisa merasa atau menderita lapar, atau sakit, atau juga ngantuk. Jika seseorang mau dan mampu memanusiakan dirinya, tentunya ia tidak akan menyiksa dirinya sendiri. Ia akan memperlakukan dirinya selayaknya manusia yang butuh makan dan tidur. Pun jika ia paham benar kalau disakiti itu tidak enak maka ia tidak akan menyakiti orang lain. Inilah manusia yang beradab, bersikap adil: memanusiakan manusia.

Sikap individualis yang dikedepankan oleh masyarakat barat memang ada baiknya, yaitu mendorong kemandirian individu, dimana dalam kemandirian itu juga akan selalu memunculkan kreativitas yang tentunya juga menjadi penunjang dalam pembangunan peradaban.

Tapi sikap individualis ternyata juga menyeret orang untuk acuh dan abai terhadap kemanusiaan, yang muncul dari sikap individualis juga tentang keuntungan pribadi yang seringnya diusahakan dengan segala cara. Memperkaya diri dengan cara menipu misalnya, atau berdagang dengan cara-cara yang curang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline