Lihat ke Halaman Asli

Yang Belum Ada (Sebuah Renungan di Hari Kebangkitan Nasional 2022)

Diperbarui: 22 Mei 2022   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lahirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908 bisa dikatakan sebagai fase awal dalam sejarah perjalanan bangsa, selain dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia juga dalam hal membangun jati diri kebangsaan yang sejajar dengan bangsa lain di dunia.


Bersambut dengan sumpah pemuda yang menjadi fase berikutnya, dimana para pemuda saat itu mengikrarkan sebuah sumpah yang merupakan pernyataan untuk menjadi satu bangsa yaitu Bangsa Indonesia.


Semua itu bukanlah hal mudah, fase-fase ini harus dilalui dengan banyak pengorbanan hingga akhirnya nanti, melalui Soekarno-Hatta, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.


Jadi pertanyaan: Mengapa para tokoh terpelajar pada saat itu rela mengorbankan waktu, harta, pikiran bahkan nyawanya untuk suatu masa depan yang sangat mungkin tidak menguntungkan bagi dirinya saat itu? Bukankah akan lebih baik jika saat itu para tokoh terpelajar saat itu berkonsentrasi kepada segenap usaha yang menguntungkan dirinya daripada berusaha membangun yang tidak begitu jelas yang hanya ada di masa depan dan sama sekali tidak menguntungkan bahkan tidak berkaitan langsung dengan dirinya saat itu?


Keinginan untuk terbebas dari penindasan merupakan faktor utama dalam memunculkan kerinduan akan datangnya masa gemilang tanpa diskriminasi dan penindasan, masa dimana situasi akan membaik, meskipun pada kenyataannya masa yang dirindukan itu sungguh masih terasa sulit untuk dihadirkan.


Pada saat itu para tokoh terpelajar pun kemungkinan tidak memprediksi bahwa nantinya perjuangan mewujudkan kerinduan itu akan semakin sulit. Misalnya dengan kehadiran bala tentara Jepang yang lebih kejam ataupun munculnya masa yang diwarnai gejolak-gejolak yang berdarah-darah di alam merdeka Indonesia nantinya.


Sebagaimana Ernst Bloch yang membicarakan "yang belum ada" secara panjang lebar untuk menjelaskan angan-angan sebuah masyarakat tanpa penindasan dan keterasingan dalam komunisme masa depan. Meskipun pada akhirnya Bloch harus menyaksikan penindasan luar biasa didalam raksasa komunisme Uni Soviet.


"Kegemilangan hari depan" yang oleh Bloch dikatakan sebagai 'latensi' menyeruak muncul dalam imajinasi para tokoh terpelajar saat itu. Bayang-angan akan masyarakat yang terlepas dari penindasan, hidup dalam kemulyaan dan tidak lagi berperan sebagai bangsa yang senantiasa direndahkan oleh bangsa lain, menjadi "yang belum ada" yang dirindukan.


Hingga muncul pula 'tendensi' atau kecondongan yaitu kecenderungan untuk menghadirkan "yang belum ada" tersebut dalam realitas. meski tidak semudah membalikan telapak tangan, tapi segenap usaha dilakukan untuk mewujudkan. Sebagaimana yang dilakukan Dr. Soetomo yang membuka praktek tanpa mengharap imbalan dari pasiennya atau yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara yang merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi lewat pendidikan.


"Yang belum ada" itu adalah kita saat ini, dengan segala kemudahan yang merupakan buah dari perjuangan panjang para pendahulu. Tapi apakah kita hari ini adalah yang benar-benar diharapkan oleh para pendahulu? Sudah terjawabkah kerinduan terhadap "yang belum ada" para tokoh terpelajar dimasa lalu?


Sangat mungkin segala apa yang dibayangkan para tokoh terpelajar tahun 1908 tidaklah sesederhana yang kita pikir-tebak saat ini, meskipun kita saat ini adalah "yang belum ada" bagi para tokoh terpelajar tahun 1908. Inilah yang harus kita renungkan saat ini.


"Yang belum ada" itu telah hadir menjadi nyata, meski tidak sesempurna yang diharapkan, mungkin masih banyak kekurangan disana-sini, dan itulah yang menjadi tugas kita untuk segera menyempurnakan atau menyiapkan sebab-sebab terjadinya kesempurnaan di masa mendatang. Jadi kesempurnaan itulah yang menjadi "yang belum ada" bagi kita saat ini. Jangan sampai terjadi sebaliknya: "yang belum ada" saat ini ternyata sudah pernah ada di masa lalu. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline