[caption caption="bu Eni][/caption]
Hari kedua di kota Yogyakarta dimulai dengan mencari sarapan pagi Gudeg, makanan tradisional Yogya yang terkenal. Aku mengenal dua macam gudeg yaitu gudeg basah dan gudeg kering, dan aku lebih menyukai gudeg basah ketimbang yang kering. Meski lidahku agak tidak terbiasa dengan menu makanan yang terasa manis, tapi hal itu teratasi karena ada sambel krecek dengan kacang tolo yang dilengkapi dengan cabe rawit, memberikan rasa pedas yang pas, makanpun tetap nikmat jadinya.
[caption caption="sambal goreng krecek"]
[/caption]
Setelah malam sebelumnya aku mencicipi gudeg Sagan, maka pagi ini aku mendeskripsikan gudeg yang kuinginkan kepada pak supir, gudeg yang ada sambal krecek dengan kacang tolonya, bukan tempe, gudeg basah. Akhirnya supir membawaku ke Jl Gayam, tepat di perempatan jalan, bu Eni penjaja gudeg ini menjajakan kuliner khas Yogya yang terkenal itu.
Bu Eni adalah generasi ketiga yang menjual gudeg setelah nenek dan ibunya, tapi dia tidak ingat sejak tahun berapa ibunya menjadi penjual gudeg, apalagi neneknya, yang ia tahu lokasi ini sudah beberapa kali pindah tempat, tetapi lokasinya masih di sekitar jl Gayam.
Gudeg adalah makanan yang terbuat dari bahan utama nangka muda, dimasak dengan santan dan beberapa ramuan bumbu selama berjam-jam supaya warnanya menjadi coklat sempurna. Bu Eni menyebutkan perlu waktu dua hari supaya gudeg berwarna coklat pekat, kalau kurang dari waktu itu warnanya akan terlihat pucat. Gudeg biasanya disajikan lengkap dengan areh, ayam opor, telur, tahu dan sambel goreng krecek. Sambal goreng krecek ada yang dilengkapi dengan potongan tempe kecil-kecil tapi adapula yang menggunakan kacang tolo (dulu aku mengira itu adalah kacang kedele)
[caption caption="rasa nostalgia"]
[/caption]
Gudeg gayam ini pas betul dengan seleraku, menikmati gudeg ini membuat kenangan akan gudeg pisangan tempat aku dibesarkan berkelebatan di ruang ingatan. Persis seperti bu Eni, mbah penjual gudeg pasar Enjo itu menjajakan dagangannya di pinggir jalan, sambal goreng kreceknya sedap, dan makan akan bertambah nikmat kalau menggunakan piring beralaskan daun pisang. Seperti dulu, saat pesan makanan ini ke bu Eni, “Gudegnya satu ya bu, jangan pake gudeg”, dan tentu saja aku jadi semakin bernostalgia ketika gudeg disajikan diatas piring rotang menggunakan daun pisang sebagai alasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H