Libur panjang nasional kemarin saya menjadi tour guide dadakan untuk beberapa teman dari Jakarta yang mengunjungi Solo. Dengan mengendarai sepeda kami berkeliling di kampung-kampung pinggiran kota Solo. Berhubung sedang panas-panasnya perang antara Prabowo dan Jokowi, saya pun iseng-iseng tanya kepada warga Solo yang kami temui tentang pilihan mereka untuk pemilu mendatang. Karena Jokowi pernah menjadi walikota selama beberapa tahun tentu bisa ditebak bahwa preferensi mereka akan condong pada Jokowi. Namun yang menurut saya unik adalah ucapan dari orang-orang ini. Mereka yang tidak mengenal konsep pencitraan. Berikut hanya saya tulis kesaksian tiga orang dari beberapa orang yang saya wawancara. Tentunya kalimat mereka sudah saya paraphrase (karena saya hanya mengingat inti ucapan mereka) dan terjemahkan ke bahasa Indonesa (karena mereka semua berbicara ke saya dalam bahasa Jawa) Si Bapak Pengayuh Sampan (BPS)
Untuk melewati sungai Bengawan Solo, kami menyebrang dengan sampan dari kayu. Pengalaman yang selalu unik untuk saya. Segera tanpa membuang waktu saya bertanya pada bapak tua yang menyebrangkan kami. Saya: “Jokowi atau Prabowo, pak nanti?” BPS: “Wah Jokowi, mas.” Saya: “La kenapa Pak?” BPS: “Masnya waktu 2007 di Solo tidak? Ini dari daerah situ (sambil menunjuk daerah atas sungai) sampai sana kelelep (tenggelam) semua. Tinggal atapnya saja, mas. Nah setelah itu yang dipindahin semua sama Pak Jokowi. Rumah-rumah yang dipinggiran situ (menunjuk satu arah lagi) dipindahin semua mas. Sudah dipindahin disedian tanah dan rumah baru ke Mojoloyo (saya kurang mendengar dengan jelas nama daerah ini, jadi bisa tidak akurat) Dikasih sertifikat juga. Cuman Pak Jokowi yang bisa gitu mas. Walikota-walikota sebelumnya ya dibiarin aja. Makanya belum selesai jadi walikota ditarik jadi gubernur, trus ditarik lagi jadi presiden.” Sampai disitu saya sudah diseberang sungai lainnya dan tidak bisa mengkorek lebih dalam cerita si Bapak Pengayuh Sampan ini. Namun cukup menarik karena saya tidak pernah mendengar cerita Jokowi yang mindahin rumah-rumah warga di bantaran sungai Bengawan Solo. Kalau yang mindahin PKL di daerah Banjarsari saya pernah dengar, tapi prestasi yang ini saya belum pernah dengar. Si Bapak Pembuat Genteng (BPG)
Setelah menyebrang sungai Bengawan Solo dan mengunjungi pabrik Gamelan dan Ciu, saya menemui sepasang suami istri yang sehari-harinya membuat genteng secara manual. Pasangan ini menurut saya sangat hebat. Mereka adalah orang terakhir yang membuat genteng secara manual di daerah itu. Harga gentengnya juga murah, hanya 700 rupiah untuk satu biji. Jauh lebih murah dari harga genteng buatan mesin. Sambil mempraktekan cara membuat genteng sekali lagi saya mendengar cerita baru tentang Jokowi. Saya: ‘Nanti milih siapa Pak? Jokowi atau Prabowo?” BPG: “Jokowi, dek” Saya: “Wah tapi akhir-akhir ini Jokowi diserang terus yah Pak” BPG: “Tenang aja, dek. Kalau rakyat kecil nanti pasti milih Jokowi. Itu pak Jokowi selama jadi walikota ga pernah ambil gaji lo. Uang gajinya justru buat orang-orang yang sakit atau sekolah.” Saya: “Ya tapi gajinya juga ga mungkin cukup buat semua orang yah Pak” BPG: “Iya betul dik. Tapi niatnya itu. Itu anak saya sekarang jadi guru SD. Ngajar apa yah. Adminis…” Saya: “Administrasi?” BPG: “Iya administrasi. Itu juga karena bantuan Pak Jokowi” Saya; “Wah berarti anaknya ga mungkin nglanjutin usaha Bapak donk?” BPG :”Iya dek. Anak saya ndak mau nglanjutin kerja kaya gini.” Yang membuat saya agak takjub adalah kepercayaan diri si Bapak ini ketika bilang “Tenang saja dek. Kalau rakyat kecil nanti pasti milih Jokowi”. Waktu dia mengatakan itu, tidak ada keraguan di matanya. Padahal kalau melihat serangan-serangan yang ditujukan ke Jokowi, secara rasional pendukung Jokowi pasti pesimis dan was-was. Mungkin si Bapak ini melakukan studi empirik kecil. Karena ia adalah “rakyat kecil” dan sekelilingnya adalah “rakyat kecil” dan semuanya memilih Jokowi maka dia dengan berani berkata seperti itu. “Kalau rakyat kecil nanti pasti milih Jokowi….” Ibu-ibu Pembuat Karak (IPK)
Setelah mengunjungi si Bapak Pembuat Genteng, sebenernya kami ingin pergi mengunjungi tempat kerajinan tempe. Namun sayangnya d ada orang gila telanjang yang tergeletak di tengah jalan sehingga kami mengurungkan niat dan berbalik arah. Tempat industri karak adalah tempat tujuan kami berikutnya. Karak adalah krupuk yang terbuat dari beras. Ada lima orang Ibu dan seorang Bapak yang sedang membuat karak-karak ini. Sambil makan karak yang dengan baik hatinya ditawarkan kepada kami, kami pun berbincang mengenai isu politik. Saya: “Jokowi atau Prabowo nanti Bu?” – pertanyaan standard saya ;P IPK : “Jokowi mas?” Saya: “Kalau di Solo Jokowi semua yah Bu?” IPK: “La memang orangnya sae (baik) mas.” Saya: “Ini setelah ditinggal Pak Jokowi gimana Bu?” IPK: “Pak Rudinya ya juga sae. Kalau buat saya itu mau Islam mau Kristen mau Hindu ga masalah yang penting jujur.” (note: Pak Rudi walikota Solo yang sekarang beragama Katolik. Mungkin karena itu tiba-tiba si Ibu ini mengeluarkan statement tentang agama) IPK2(Ibu-ibu yang lain): “Iya bener mas. Ga masalah agamanya apa yang penting jujur. Orang Haji juga banyak yang Hajingan. Itu seperti yang korupsi Haji, kalau ketemu orangnya saya bedil (tembak) langsung kalau bisa.” *Semua tertawa* IPK1(Ibu-ibu yang lain): “Koyo Bang Haji Dangdut* kui” (Seperti Bang Haji Dangdut itu) IPK3: “Opo meneh Am**n R**s. Kui Sengkuni” (Apa lagi Am**n R**s. Dia Sengkuni) – Sengkuni adalah tokoh wayang. Saya: “Wah ini koq pada tidak suka kubunya Prabowo?” Setelah berbincang-bincang beberapa lama lagi akhirnya kami meninggalkan tempat yang hangat itu sambil membawa beberapa plastik penuh berisi karak. Saya kagum sama Ibu-Ibu itu. Mungkin mereka tidak pernah mendengar apa arti kata toleransi dan minoritas. Tapi kalimat-kalimat toleran keluar dari mulut mereka. Salut Bu! Saya akan terus makan karak demi Ibu2 ini. :) Mereka yang tidak mengenal pencitraan Orang-orang yang saya temui ini adalah mereka yang tidak mengenal konsep pencitraan. Sehingga ketika mereka dengan yakinnya mendukung Jokowi tentu saja bukan karena mereka benar-benar tau siapa orang ini. Mereka adalah “rakyat kecil” yang pernah merasakan dibawah pimpinan pak Jokowi dan mengecap manfaat dari cara kerjanya. Jarang sekali saya mendengar ucapan-ucapan kata optimis dan positif dewasa ini. Apalagi masa-masa kampanye seperti ini. Sehari berdialog bersama orang2 ini, untuk beberapa waktu saya merasakan optimisme mereka, menular dari rakyat Solo yang pernah dipimpin Jokowi. Mungkin benar kata pak Anies Baswedan, bahwa optimisme itu menular…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H