Transfer Pricing dalam Perpajakan merujuk pada penetapan harga untuk transaksi antar perusahaan yang termasuk dalam satu kelompok usaha, misalnya antara anak perusahaan, cabang, atau afiliasi yang berada di negara yang berbeda. Praktik ini sangat penting dalam konteks perusahaan multinasional yang memiliki operasi di berbagai negara, karena harga yang digunakan untuk transaksi internal (seperti penjualan barang, pemberian jasa, atau pemindahan aset) akan mempengaruhi pendapatan yang dilaporkan dan, pada gilirannya, kewajiban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan di setiap negara tempat mereka beroperasi.
Globalisasi dan perdagangan internasional menyebabkan munculnya konsep Transfer Pricing, khususnya bagi perusahaan multinasional. Perusahaan semakin mudah melakukan perpindahan barang, jasa, modal, hingga sumber daya manusia antarnegara. Dengan demikian, transaksi perdagangan internasional kini banyak melibatkan pihak-pihak dalam satu grup usaha maupun pihak-pihak yang saling berafiliasi. Perusahaan multinasional umum menerapkan pembagian tanggung jawab dalam suatu grup usaha. Misalnya, suatu perusahaan induk memiliki perusahaan subsidiary yang bertugas sebagai pusat riset dan pengembangan, pusat manufaktur atau cost center, revenue center yang berperan dalam penjualan dan distribusi.
Berikut adalah alasan-alasan utama mengapa transfer pricing sangat penting:
- Salah satu alasan utama mengapa transfer pricing digunakan oleh perusahaan multinasional adalah untuk mengoptimalkan kewajiban pajak. Dalam struktur perusahaan yang beroperasi di berbagai negara, perusahaan dapat mengalihkan laba dari negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah atau negara yang menawarkan insentif pajak tertentu.
- Transfer pricing memungkinkan perusahaan untuk mengelola keuntungan di antara afiliasi atau anak perusahaan yang terletak di berbagai negara. Dengan menetapkan harga transfer yang sesuai, perusahaan dapat memanage bagaimana keuntungan didistribusikan ke berbagai cabang atau entitas dalam grupnya.
- Transfer pricing dapat membantu menetapkan harga yang wajar dalam transaksi antar perusahaan dalam grup. Melalui prinsip arm's length (jarak wajar), perusahaan diminta untuk menetapkan harga transfer yang mencerminkan harga yang seharusnya diterapkan dalam transaksi yang serupa antara perusahaan yang tidak terhubung. Hal ini memastikan bahwa transaksi antar afiliasi dijalankan dengan cara yang transparan dan sesuai dengan prinsip pasar.
- Transfer pricing membantu untuk menghindari pajak berganda (double taxation), yaitu situasi di mana pendapatan yang sama dikenakan pajak di dua negara berbeda. Tanpa prinsip yang jelas mengenai bagaimana harga transfer harus dihitung, dua negara bisa saja mencoba mengenakan pajak pada transaksi yang sama. Dengan kepatuhan terhadap regulasi transfer pricing yang benar, perusahaan dapat mencegah atau menyelesaikan sengketa pajak yang mungkin muncul terkait dengan transaksi antar afiliasi.
Salahj satu konsep yang ada di transfer pricing adalah Arm's Length Principle (ALP) adalah konsep fundamental dalam transfer pricing yang digunakan untuk memastikan bahwa transaksi antara entitas yang berafiliasi (misalnya, antara anak perusahaan dalam grup multinasional) dilakukan dengan harga yang setara atau mirip dengan yang akan diterapkan dalam transaksi antara pihak independen di pasar terbuka. Dengan kata lain, transaksi antara entitas yang memiliki hubungan afiliasi (misalnya, perusahaan induk dan anak perusahaan) harus dilakukan seolah-olah mereka adalah pihak yang tidak saling terhubung, dengan harga yang tidak dipengaruhi oleh hubungan internal. Prinsip arm’s length bertujuan untuk mencegah praktik manipulasi harga transfer yang bisa digunakan untuk menghindari pajak atau memindahkan keuntungan antarnegara dengan tarif pajak yang lebih rendah (seperti pengalihan keuntungan ke negara surga pajak). ALP membantu memastikan bahwa harga transaksi antar-entitas dalam grup multinasional sesuai dengan harga pasar wajar, yang akan terjadi seandainya kedua belah pihak adalah pihak yang independen.
Genealogi Transfer Pricing merujuk pada perkembangan dan asal-usul konsep transfer pricing melalui sejarah dan berbagai dimensi ilmu pengetahuan. Transfer pricing, yang pada dasarnya adalah penetapan harga untuk transaksi antara entitas yang terkait dalam satu grup perusahaan (misalnya antar anak perusahaan atau cabang di berbagai negara), bukan hanya merupakan masalah perpajakan, tetapi juga melibatkan dinamika ekonomi, hukum, politik, dan sosial yang kompleks. Untuk memahami genealogi transfer pricing, kita perlu melihat bagaimana praktik ini berkembang dalam konteks sejarah, serta bagaimana teori dan kebijakan yang melatarbelakanginya berinteraksi dengan praktek bisnis dan sistem perpajakan global.
Teori psikoanalitik Jacques Lacan adalah salah satu yang paling berpengaruh dan kompleks dalam bidang psikoanalisis, yang berfokus pada hubungan antara subjek (individu), bahasa, dan alam bawah sadar. Lacan mengembangkan teori yang mendalam mengenai struktur psikis manusia dan menyoroti bagaimana identitas individu terbentuk melalui interaksi simbolik, serta bagaimana individu terhubung dengan dunia eksternal dan internal mereka. Jika kita melihat transfer pricing melalui lensa Lacanian, kita dapat memahami fenomena ini sebagai suatu bentuk "negosiasi" antara subjek (perusahaan) dengan Otoritas (negara) dalam sistem ekonomi global. Di sini, harga transfer bukan hanya sekadar angka yang menentukan biaya atau laba, tetapi juga berfungsi sebagai simbol yang dibentuk oleh aturan dan kebijakan global, serta sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu optimalisasi pajak dan laba. Sementara itu, keinginan perusahaan untuk membayar pajak sesedikit mungkin dapat dilihat sebagai refleksi dari konsep Lacan mengenai "keinginan yang tidak terpuaskan." Tidak peduli berapa banyak perusahaan mencoba mengoptimalkan strategi transfer pricing mereka, mereka tidak akan pernah sepenuhnya mencapai tujuan "sempurna" karena adanya regulasi, pemeriksaan otoritas pajak, dan peraturan internasional yang terus berubah.
Teori utilitarian dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill berfokus pada prinsip bahwa tindakan yang benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan atau manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam konteks transfer pricing, teori ini dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah praktik tersebut memberikan manfaat yang merata atau justru menguntungkan sebagian pihak sambil merugikan yang lain. Menurut Bentham, kebahagiaan dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan "kalkulus kebahagiaan”. Bentham menekankan aspek intensitas, durasi, kepastian dan luasnya dampak dari keputusan tersebut. Sedangkan Mill memperluas konsep Bentham dengan mempertimbangkan kualitas kebahagiaan, bukan hanya kuantitas. Ia menilai bahwa kebahagiaan intelektual atau moral lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan fisik. Hubungan teori utilitarian dengan transfer pricing pada pendekatan Benthams perusahaan yang memaksimalkan keuntungan melalui transfer pricing dapat dianggap sah secara utilitarian jika manfaat finansial tersebut diterjemahkan ke dalam investasi global, peningkatan lapangan kerja, atau inovasi produk namun sebenarnya itu dapat merugikan negara dari sumber pendapatan pajaknya. Hubungan teori utilitarian dengan transfer pricing bahwa kebijakan transfer pricing yang etis perlu menyeimbangkan antara keuntungan finansial perusahaan dan tanggung jawab sosial agar tidak ada pihak yang saling dirugikan baik dari sisi keuntungan perusahaan maupun pendapatan negara.
Teori Kebebasan Positif dan Negatif dalam konteks transfer pricing dapat digunakan untuk memahami cara pandang yang berbeda terhadap kebebasan ekonomi dan tanggung jawab sosial dalam praktik pengalokasian harga antar entitas dalam perusahaan multinasional. Kebebasan negatif mengacu pada kebebasan dari gangguan atau paksaan. Dalam konteks ini, kebebasan negatif berkaitan dengan hak perusahaan untuk menetapkan harga transfer tanpa campur tangan yang signifikan dari pihak luar (misalnya, pemerintah atau lembaga pengatur). Dari sudut pandang kebebasan negatif, perusahaan multinasional diharapkan memiliki kebebasan untuk menentukan harga transfer sesuai dengan kepentingan bisnis mereka, selama tidak ada paksaan atau hambatan eksternal yang menghalangi mereka untuk melakukannya. Sebaliknya, kebebasan positif berfokus pada kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk menjadi siapa kita sesungguhnya, dan bukan hanya kebebasan dari paksaan eksternal. Dalam hal ini, kebebasan positif dalam transfer pricing akan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu sejauh mana perusahaan multinasional harus mempertimbangkan kesejahteraan negara tempat mereka beroperasi, terutama dalam hal keadilan pajak dan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi.
Transfer pricing melalui perspektif teori Karl Marx memberikan sudut pandang kritis terhadap praktik ini, terutama dalam konteks kapitalisme global. Marx memandang kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang didorong oleh eksploitasi tenaga kerja dan akumulasi modal. Dalam teori Marx, akumulasi modal adalah inti dari kapitalisme. Transfer pricing memungkinkan perusahaan multinasional untuk memindahkan keuntungan antar-entitas mereka di berbagai negara, sering kali untuk menghindari pajak dan mengoptimalkan akumulasi modal. Marx menekankan bahwa eksploitasi tenaga kerja adalah sumber nilai surplus dalam kapitalisme. Dalam konteks transfer pricing adalah dengan eksploitasi tenaga kerja di negara berkembang di mana biaya tenaga kerja lebih rendah dan cara perusahaan untuk memanipulasi distribusi nilai surplus. Marx mengkritik kapitalisme karena memperparah ketimpangan antara kelas-kelas sosial dan negara-negara. Dalam konteks transfer pricing negara maju sering kali menjadi pusat keuntungan akibat manipulasi transfer pricing, sementara negara berkembang kehilangan pendapatan pajak dengan mengalihkan kekayaan dari negara-negara yang membutuhkan pajak untuk pembangunan sosial ke negara-negara surga pajak (tax haven), yang memperdalam kesenjangan ekonomi global. Dalam teori Marx, fetisisme komoditas mengacu pada bagaimana nilai sosial suatu barang tersembunyi di balik nilai tukarnya. Dalam perspektif transfer pricing harga yang ditetapkan sering kali tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari barang atau jasa, melainkan manipulasi untuk tujuan akumulasi modal. Ini menciptakan ilusi bahwa transaksi antar-perusahaan adalah hubungan pasar bebas, padahal mereka dikendalikan oleh logika kapitalis.