Lihat ke Halaman Asli

Prostitusi Di Ranah Minang

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Syarak mangato, adaik mamakai. Inilah falsafah hidup orang Minang Kabau. Sangat saklek dan tak kompromis. Anak-anak mudanya dipelihara dan dibesarkan dengan nilai-nilai ini. Ruh keislaman yang sangat kental, masih beraroma pekat. Muda-mudi diajarkan menutup aurat sejak usia sangat dini. Dari tingkat sekolah dasar bahkan TK, sampai level perguruan tinggi, generasi muda sudah diajarkan poin-poin positif yang menjadi dasar pandangan hidup.

Namun, paparan diatas seakan menjadi omong kosong belaka, ketika kesucian falsafah tadi dengan praktek lapangan jauh melenceng. Sungguh menyedihkan dan sangat memalukan. Apa yang dibangga-banggakan dari falsafah yang murni itu telah dicoreng dengan telak oleh praktek prostitusi yang merajalela. Sebagaimana berita-berita berikut ini:

-http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4558:prostitusi-di-kota-padang-bak-api-dalam-sekam&catid=11:opini&Itemid=83

-http://news.okezone.com/read/2010/06/17/340/343750/di-padang-psk-tidak-mangkal-tetapi-keliling

-http://regional.kompasiana.com/2011/04/26/aids-di-kota-bukittinggi-nomor-dua-di-sumatera-barat-359983.html

Kenyataan lapangannya, sungguh sangat mengerikan dan menggenaskan. Berjalanlah kita ke Bukit Lampu, banyak sekali Kafe remang-remang pada malam hari yang menawarkan hiburan karaoke sebagai kedoknya, padahal terjadilah transaksi kelamin di sana.  Di dalam kota Padang sendiri, kita bisa dengan mudah mengakses bisnis gelap ini, cobalah sekali-kali sekedar duduk di tepi jalan pada malam kawasan Taman Budaya, tanpa perlu melakukan banyak gerakan, mobil-mobil bermerk Avanza atau Xenia akan menghampiri, menawarkan perempuan-perempuan untuk “dipakai”. Lalu bermainlah kita ke daerah Pondok, Padang, di sana ada café-cefe yang juga menjadi tempat memilih para pelacur tersebut.

Daerah Bukittinggi yang juga merupakan salah satu icon Sumatera Barat, sebagai kota Wisata pun tak luput dari praktek haram tersebut. Prakteknya diselubungi dengan tempat pijat, Spa atau cafe. Ada juga hotel-hotel yang menjadi penampung praktek tersebut. Belum lagi kita tinjau di daerah perbatasan seperti daerah Pangkalan Koto Baru. Praktek tersebut menjamur.

Seperti penelusuran yang dilakukan, beberapa praktek tersebut malah dibekingi oleh para aparat berseragam, apakah itu coklat ataupun loreng. Ada back up yang membuat bisnis ini makin merajalela. Terakhir kasus pemukulan wartawan di daerah bukit lampu, terkait peliputan praktek prostitusi tersebut.

Lalu siapa yang bertanggung jawab? Ulama, Niniak Mamak, Pemangku Kekuasaan dan kita semua. Namun disini, kita menyorot kinerja Gubernur Sumatera Barat, sampai sejauh mana langkah-langkah antisipatif dan preventif dilakukan? Sejauh mana ketegasannya selama berkuasa dalam memberantas hal tersebut? Ini jadi pertanyaan besar. Jangan lagi bersembunyi dibalik otonomi daerah untuk bertindak tegas. Ini ranah minang sedang darurat moral.

Pun, Walikota Padang yang baru, ditantang dengan hal serupa, mampukah melenyapkan prostitusi di Padang. Jangan sampai kalah dengan walikota sebelumnya, meskipun tak dilenyapkan semuanya. Minimal, jalan-jalan di daerah taman budaya sudah terang, ada Satpol PP yang berjaga-jaga di sana, siapa yang kedapatan sedang “manggaleh” langsung saja “dicokok”, begitu pula di Bukit Lampu, dirikan saja Posko Pol PP di sana, biar bisa razia setiap hari.

Para ulama dan juga orang tua, harus betul-betul menginternalisasikan nilai-nilai agama kepada generasi mendatang. Seperti etos kerja dan disipilin. Semuanya punya tanggung jawab yang sama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline