Lihat ke Halaman Asli

Berlanjut atau Berubah..??

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Headline di Jogjapolitan (20/4) mengenai pemberitaan tentang aborsi yang kebanyakan pasiennya berasal dari mahasiswi tanpa sadar menarik perhatian kami untuk mengetahui lebih lanjut serta mengetahui fakta-fakta apa saja didalamnya.

Aborsi merupakan satu dari sekian banyak akibat yang dimunculkan dari adanya perilaku seks pra nikah atau yang lebih dikenal dengan istilah seks bebas. Secara sederhana seks pra nikah dapat dipahami sebagai suatu hubungan yang yang dilakukan baik secara mandiri (tanpa pihak ke-2) maupun dengan orang lain baik itu sesama jenis maupun lawan jenis sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan bologis serta karena ada dorongan rasa keingintahuan yang kerap muncul.

Perilaku semacam ini merupakan tindakan alamiah dan mendasar dalam perkembangan manusia. Menilik pada pemberitaan diatas, perilaku semacam ini turut menimbulkan dampak bagi para pelakunya. Dampak yang kerap muncul adalah sesuatu yang belum mampu untuk dipertanggungjawabkan secara sepenuhnya oleh para pelakunya baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang yang ada disekitarnya. Disinilah yang menjadi titik permasalahan klasik dalam setiap masalah seksual yang menimpa individu dewasa maupun remaja dimana hal ini adalah mahasiswa.

Perlu diketahui, disamping adanya tindakan aborsi masih ada sederet dampak lain. Dampak-dampak itu antara lain munculnya bermacam-macam penyakit menular seksual, kanker serviks uterus yang saat ini banyak diangkat dalam penyuluhan kesehatan reproduksi, HIV/AIDS tentunya, serta masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial.

Sedikit mengingat hasil study yang dilakukan pada salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta mengenai tingkat keperawan mahasiswi yang dinilai cukup rendah mengagetkan berbagai pihak. Terlebih bagi orang tua calon mahasiswa yang hendak menempatkan putra putrinya untuk mengenyam pendidikan tinggi di Yogyakarta menjadi berita buruk dan menimbulkan stigma negatif bagi kota ini. Terlepas pada sample mana yang diambil dan metode yang dipakai dalam pengukuran tersebut. Ironis memang, tapi itulah yang dikatakan dari sebuah penelitian dan pemberitaan mengenai praktik aborsi oleh Wagirah seakan mengamini bahwa fenomena perilaku seks di luar nikah dikalangan mahasiswa merupakan tindakan yang marak dilakukan. Praktik aborsi berkaitan erat dengan maraknya perilaku seks pra nikah.

Sekalipun perilaku seks merupakan tindakan mendasar pada setiap makluk hidup dan akibat yang ditimbulkan lebih besar pengaruhnya pada pelakunya tentu tidak dapat dibenarkan begitu saja. Dibutuhkan tindakan yang komprehensif dan tentu saja melibatkan berbagai pihak di dalamnya dan komponen-komponen terkait sebagai bentuk tanggungjawab moral bangsa.

Perguruan tinggi sebagai pihak penyelenggara pendidikan sedapat mungkin memaksimalkan berbagai peran dalam menentukan kebijakan yang tidak hanya menonjolkan pada kemampuan kognitif akademik tetapi juga turut memberikan pemebekalan mengenai pendidikan yang mengarah pada moralitas. Komitment itu dapat tercermin dari visi-misi yang mengangkat mengenai pentingnya moralitas. Pada beberapa mata kuliah seperti Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganeraan pendekatan afeksi mutlak dilakukan dan bukan hanya sebatas pada tataran teoritis seperti yang berlangsung selama ini. Disamping itu dibutuhkan pendidikan karakter guna membangun pribadi yang mantap yang diimplementasikan pada berbagai macam kegiatan kemahasiswaan. Bahkan muncul wacana pada pelaksanaan KKN-PPL bukan lagi terorientasi pada tercapainya bangunan fisik tetapi menekankan pada pemberdayaan karakter & pembekalan vokasional warga. Hal ini tentu harus dimulai dari lingkungan civitas akademika itu sendiri.

Bagi masyarakat peran yang dapat dimainkan adalah bagimana menyediakan tempat kost yang tidak bebas. Tuan rumah bukan hanya sekedar penyedia tempat tetapi juga berperan layaknya orang tua yang mengayomi dan mengarahkan. Selain itu tingkat ketertiban di lingkungan juga harus turut diperhatikan oleh seluruh warga serta aparat desa terkait guna mencegah terbentuknya lingkungan yang mengarah pada tindak amoral.

Tak dapat dipungkiri media dan informasi sangat memegang peranan yang urgent dan berpengaruh termasuk mengenai pemahaman seksualitas. Kemudahan akses di kota besar menjadi konsumsi berbagai kalangan, bahkan tak jarang akses oleh anak dengan pemahaman kurang mengenai seksualitas membawa pada pemahaman yang salah dan berujung pada tindakan mencoba. Sekali lagi disinilah pendidikan sedapat mungkin mampu membentuk pribadi yang mantap yang mampu melakukan filterisasi juga tak lepas pada penggunaan aplikasi penyortir web.

Sebenarnya cukup disangsikan perilaku tersebut dapat dicegah. Sehebat apapun sistem yang ada bila dalam pribadi belum terbentuk kesadaran maka sama saja bohong. Kesemua ini hanya dapat dikembalikan pada diri masing-masing seberepa besar mereka membentengi diri serta mampu memilih dan memilah. Jadi berlanjut atau berubah, tanya pada diri kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline