Lihat ke Halaman Asli

Yoca Hapsari

Mahasiswa

Kekerasan dalam Pacaran: Bentuk Cinta Semu

Diperbarui: 3 Desember 2022   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berpacaran memberikan kesempatan bagi individu untuk saling mengenal dan memahami lawan jenis. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh DeGenova & Rice (2005) yakni pacaran ialah hubungan antara dua orang yang bertemu serta melakukan aktivitas bersama agar dapat mengenal satu sama lain. Seringkali dalam menjalani hubungan tersebut ditemui permasalahan atau konflik. Dalam mengatasi permasalahan atau konflik yang dihadapi, setiap pasangan akan memiliki cara mereka masing-masing. Idealnya, pasangan akan membicarakan apa yang menjadi permasalahan dan mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Namun, tidak jarang permasalahan tersebut diselesaikan dengan tindak kekerasan atau dikenal dengan istilah dating violence. 

Apa Itu Dating Violence?
Murray (2007) mengemukakan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah penggunaan taktik kekerasan untuk melukai dan tekanan fisik berupa paksaan dengan sengaja untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangannya. Sementara itu, menurut Afandi, dkk (2015) kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan berpacaran. Bentuk kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, seksual, atau emosional. Namun, masih sedikit yang mengetahui bahwa kekerasan dapat terjadi dalam hubungan berpacaran, tidak hanya dalam rumah tangga saja. Dari sisi korban juga masih sedikit yang berani untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Lebih lanjut, tidak semua orang aware terhadap kondisi hubungannya yang sebenarnya sudah termasuk kekerasan dalam berpacaran namun mereka beranggapan bahwa hal yang dilakukan pasangannya tersebut merupakan bentuk dari kasih sayang dan cinta. Terlebih lagi, banyak individu percaya bahwa pasangannya akan berubah menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu, sehingga mereka lebih memilih bertahan dalam hubungan tersebut dan tidak melaporkan kekerasan yang telah mereka alami.

Hal inilah yang kemudian dikatakan bahwa kasus kekerasan dalam pacaran seperti fenomena gunung es, yakni kasus sebenarnya banyak terjadi namun hanya beberapa yang muncul ke permukaan. Padahal, pada kenyataannya berdasarkan data CATAHU Komnas Perempuan, kasus kekerasan dalam berpacaran di Indonesia menduduki peringkat tertinggi kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga.

Natasya dan Susilawati (2020) menyebutkan bahwa kekerasan dalam pacaran yang terjadi seperti sebuah siklus, yang berarti tidak akan berhenti dan akan terus terjadi berulang dengan pola yang sama bahkan bisa semakin parah hingga korban berani mengambil keputusan untuk keluar dari hubungan tersebut. Setelah terjadi kekerasan, hal berikutnya yang terjadi ialah rekonsiliasi dimana pelaku membuat alasan atas kekerasan yang ia lakukan serta meyakinkan pasangannya bahwa ia akan berubah. Sehingga, kemudian yang terjadi ialah korban kekerasan akan merasa bahwa pasangannya adalah orang yang baik dan akan berubah sehingga ia memaklumi perlakuan dari pasangannya dan memilih bertahan. Hal inilah yang disebut sebagai cinta semu. Tindakan tersebut bukanlah bentuk cinta yang sesungguhnya. Ketika terdapat konflik, pola ini akan terjadi lagi dan akan seperti itu seterusnya hingga korban memutuskan untuk keluar dari hubungan tersebut.

Pelaku kekerasan dalam berpacaran pada umumnya memiliki kemampuan untuk memanipulasi keadaan atau pikiran pasangannya sehingga korban (pasangan) di banyak kasus menormalisasi kekerasan yang ia alami, memaafkan si pelaku, dan memiliki keyakinan bahwa pelaku bisa berubah. Sifat manipulatif dari pelaku kekerasan dalam berpacaran ini menyebabkan korban sulit untuk keluar dari siklus kekerasan ini. Dalam beberapa kasus juga ditemui bahwa korban kekerasan yang berhasil keluar dari siklus tersebut merasakan kehampaan setelah memutuskan hubungannya dengan si pelaku. Situasi ini bisa jadi disebabkan oleh perilaku manipulatif pelaku selama berpacaran yang lama kelamaan diadaptasi oleh korban dan menjadi rutinitas dalam kehidupan korban.

Ingat ya teman-teman, kekerasan bukanlah bentuk dari cinta. Bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasanpun bukanlah cinta yang sesungguhnya. Kekerasan tidak akan terjadi pada hubungan yang sehat.

“A healthy relationship keeps the doors and windows wide open. Plenty of air is circulating and no one feels trapped”– Unknown


Referensi
Afandi, N.A., Wahyunu, H., & Adawiyah, A.Y. (2015). Efektivitas Pelatihan Mindfulness Terhadap Penurunan Stres Korban Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Jurnal Pamator, 8 (2).
DeGenova, M.K & Rice, P.P. (2005). Intimate Relationship, Marriages, and Families. New York: MC Grow-Hill.
Murray, J. (2007). But I love Him: Protecting Your Teen Daughter From Controlling, Abusive Dating Relationship. New York: Harper Perennial.
Natasya, G.Y., & Susilawati, L, K.P.A. (2020). Pemaafan Pada Remaja Perempuan Yang Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran. Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi, 1 (3), 169-177.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline