Lihat ke Halaman Asli

Kado Natal Sepotong Salib

Diperbarui: 20 Desember 2018   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: time.com

Masih menyoal pemotongan nisan salib di Yogyakarta yang menimbulkan banyak kecemasan di hati semua pemeluk agama, bagi umat Katolik cemas karena merasa ditindas, bagi umat Islam merasa tertekan karena semakin merebaknya kasus ini dan tentu menjadi pihak yang dituduh "intoleran".

Pemotongan nisan salib ini setidaknya menimbulkan dua sikap bagi umat Katolik: marah dan (seperti biasanya) ikhlas atau mengambil sikap menerima. 

Kemarahan tentu hal yang wajar bagi sebagian umat Katolik, mungkin semarah umat Islam ketika kalimat Tauhid dibakar. 

Bagi umat Katolik yang ikhlas, memang demikian ajaran-ajaran dalam Gereja Katolik, namun justru sikap ikhlas terhadap hal-hal demikian membuat umat Katolik semakin cuek. "Ah, daripada jadi masalah, ya biarkan saja," biarkan saja bakti sosial dilarang, ibadat dilarang, salib dipotong.

Sebagai Katolik sejak lahir, saya jarang sekali melihat sosok umat Katolik yang berani ambil peran aktif dalam masyarakat secara terang-terangan. 

Ada stigma terhadap umat Katolik, "mereka orangnya jujur, cocok jadi bendahara," mengapa stigma? Bukankah itu ujaran yang sebenarnya dan baik? Tidak. Umat Katolik merasa tidak ingin terlalu tampil, maka tidak mengambil peran yang lebih penting dari kerja belakang layar seperti bendahara dan sekretaris.

Posisi sebagai minoritas dianggap suatu halangan untuk tampil, merasa inferior dan lebih baik "mengalah" saja, bukan mengalah yang bertujuan baik namun mengalah untuk menutupi ketakutannya terlibat aktif. Itulah yang menjadi persoalan, bukan pelarangan ibadat, pelarangan baksos, pemotongan nisan salib.

Ibu saya merupakan Katolik pertama di desanya, sejak 2005 ia kembali dari perantauan untuk mengurus kedua orang tuanya di desa. Saya tak pernah tahu aktivitas Ibu di desa, karena sejak kecil saya selalu disekolahkan oleh donatur di tempat berbeda. 

Sampai pada 2013 saya pulang ke Yogyakarta untuk menemani Ibu setelah 8 tahun berpisah, di tahun yang sama Ibu meninggal kecelakaan.

Sebagai warga baru dan tak ber-KTP Yogyakarta, pada siapa saya memohon tolong? Ya hanya pada tetangga saya di Huntap Dongkelsari, Cangkringan. 

Dari lebih 147 kepala keluarga di huntap ini, Ibu, saya, dan adik adalah satu-satunya keluarga Katolik. Siapa yang mengurus pemakaman? Bapak-bapak yang Muslim, siapa yang memasang tenda? Pemuda-pemuda Muslim, siapa yang memasak? Ibu-ibu Muslim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline