[caption id="attachment_401685" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi - manusia gerobak. (Kompas.com)"][/caption]
Siang malam berganti. Panas dan dingin cuaca menjamah kehidupan setiap hari. Macet dan penat pun seolah mengiringi. Mungkin begitu, hari-hari yang mewarnai hidup warga pinggiran Kota Jakarta ini.
Namun semuanya itu seolah tak menghambat Rianto menikmati malamnya di bawah tiang lampu jalanan di sekitar Kota Harapan Indah, Bekasi Barat. Di umurnya yang sudah menginjak kepala tiga ini, dengan santai ia duduk dan menghisap sebatang rokok sambil menjaga kedua buah hatinya yang bermain di sampingnya.
Tak jauh dari tempat ia duduk, berjajar ruko-ruko yang menyediakan berbagai kebutuhan para penghuni perumahan. Makanan, minuman, perkantoran, perabotan, sampai bank dan ATM yang siap sedia memenuhi apa yang orang-orang perlukan.
Mereka tidak tinggal di sana, bukan. Hanya gerobak yang mereka miliki untuk berteduh dan bekerja sehari-hari. Gerobak warna hijau dengan dua roda besar inilah yang menjadi alat mereka untuk mencari penghasilan, menampung kardus atau botol-botol minuman bekas yang bisa mereka temukan di sepanjang jalan.
Sudah dua tahun lamanya, Rianto menjadi pemulung gerobak. Setiap hari ia dan keluarganya berkeliling di sekitar Kota Harapan Indah, Bekasi Barat dengan gerobak yang disebutnya “roda”. Mereka mencari barang-barang bekas yang bisa mereka kumpulkan untuk disetorkan pada “bos” yang berkenan memberi upah kerja mereka.
Jangankan mencukupi kebutuhan pokok, selama dua tahun ini keluarga Rianto lebih banyak berhutang daripada mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Nasib pedih yang dialami Rianto ini sudah pernah dialaminya sejak merantau ikut bibinya dari Cirebon ke Jakarta. Tanpa ayah, Rianto pun kemudian tak pernah mengecap bangku sekolah. Tanpa bekal pergi ke Jakarta, semua tantangan hidup ia hadapi seorang diri.
“Saya sempat berusaha mencari penghasilan layak dengan mengamen dan berjualan koran, tapi korannya ilang diambil orang, akhirnya saya nombok,” ujar Rianto pedih. “Dulu juga pas masih remaja pernah nyuri, ngerampok, tapi sekarang udah tobat, udah punya anak-istri,” lanjutnya.
Kesempatan bekerja layak tak pernah diraihnya. Ibarat jatuh, tertimpa tangga, begitulah nasib yang dialami Rianto kini. Tak punya rumah, tak punya tanah, kartu tanda penduduk sekalipun tak dikantongi. “Dulu pas masih mulung dan tinggal di Jakarta surat nikah saya hangus kebakar, sekarang mau bikin KTP aja gak jadi-jadi, padahal udah bayar 600 ribu waktu itu.”
Rianto menambahkan, "Pas anak saya masuk sekolah juga bu guru nanyain akte lahirnya buat syarat; tapi gimana mau buat, surat nikah gak ada, kependudukan juga gak ada. Saya cuma bisa bilang belum jadi." Hal ini tampaknya menjadi sebuah kekhawatiran bagi Rianto saat membicarakan kelangsungan pendidikan anak-anaknya.
Sepertinya, hal yang serupa juga dialami oleh banyak kawannya yang juga memulung, sehingga Rianto pun kemudian jadi tak peduli lagi. “Temen saya aja bikin dua bulan baru jadi, ini gak tau deh bakal jadi apa ngga, udah gak ada uang lagi buat ngurus,” lanjutnya.