Lihat ke Halaman Asli

Catatan Kecil Setelah Heboh Buku “Penjaskes Berpacaran”

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Heboh buku “Penjaskes Berpacaran” tiba-tiba menghadirkan kembali kenangan indah tentang para guru saya.Dulu, pada zaman kejayaan daito dalam urusan percetakan sekolah, banyak guru saya yang tergerak hatinya untuk menyusun diktat mata pelajaran yang diampunya. Layanan mesin fotokopi waktu itu memang sudah ada, tapi dari kampung saya harus dicapai dengan naik angkutan umum sekurang-kurangnya tiga jam pergi-pulang. Maka, mesin stensil milik sekolah adalah sarana super buat urusan penggandaan bahan sejenis diktat atau soal-soal ujian.

Kini, di era digital yang serba memudahkan, saya seperti merasakan kedigdayaan para guru saya yang sudi menyusun diktat itu. Walaupun ada yang harus mengetik sendiri dengan “sebelas jari” (dua jari telunjuk), mereka terbukti mampu menyiasati kendala, mewujudkan kreativitas, idealisme dan daya intelektualnya. Mereka tidak menyerah dengan ketiadaan bahan ajar siap pakai. Sebagian malah terdorong inisiatif untuk memudahkan pembelajaran murid-muridnya, meskipun buku teks sebetulnya tersedia.

Saya ingin berusaha menyelami mengapa idealisme para guru saya itu begitu kuat. Saya menduga mereka memang memiliki determinasi dan kepercayaan diri yang kuat. Mereka menyadari bahwa guru memiliki privilege untuk menjadi aktor utama pendidikan. Guru mengetahui dan memahami dengan tingkat akurasi tinggi kebutuhan aktual dan kontekstual murid-muridnya dalam belajar. Sehingga, bahan ajar yang ditulis oleh guru adalah bahan ajar dengan tingkat relevansi tinggi.

Seingat saya, sampai saya saya kelas III SMP, pendidikan tertinggi para guru saya adalah Sarjana Muda (BA). Kebanyakan lulusan SPG, PGA, SGO, bahkan hanya SMA atau Madrasah Aliyah saja atau lulusan pesantren. Sewaktu saya memasuki SMA, ada guru yang sudah bergelar doktorandus (Drs.), tapi itupun lebih karena beliau menyayangi sekolah saya, sehingga mau bersusah-susah menjadi penglaju (commuter) setiap hari. Saat itu, karena baru didirikan, SMA tempat saya belajar masih “meminjam” seorang guru bergelar Drs., untuk didapuk menjadi Kepala Sekolah.

Keadaannya memang masih serba terbatas. Namun, itu tadi, saya merasakan semangat intelektual dan idealisme para guru saya begitu kuat. Atau, mungkin karena mereka tidak terlalu disibukkan oleh berbagai macam beban seperti yang ditanggung guru-guru era Kurikulum 2013? Mungkin saja. Tapi, poin saya adalah privilege guru untuk menjadi penulis buku pelajaran yang berkualitas dan relevan dengankebutuhan murid-muridnya sendiri.

Tentu saja, itu tidak berarti peran buku-buku lain ditiadakan. Justru sebaliknya. Jika Kurikulum 2013 menghendaki keaktifan murid dalam mencari dan membangun pengetahuan bagi dirinya, maka tidak boleh tidak perpustakaan sekolah harus siap meladeni gairah murid pada sumber atau bahan belajar dengan alternatif yang berlimpah. Nah, fungsi buku pelajaran yang ditulis guru adalah terutama sebagai pijakan dan pedoman awal untuk merangsang aktivitas pembelajaran yang tersetruktur dan produktif. Dengan “home-made book” ciptaan guru yang kreatif; dengan pendampingan yang inspiring selama aktivitas belajar; dan khazanah perpustakaan serta lingkungan pembelajaran yang kaya, murid-murid akan berkelana bahagia menjelajahi ilmu sejauh daya curiosity bisa mengantarkannya.

Di satu sisi, berita-berita tentang keterlambatan pengadaan buku-buku pelajaran Kurikulum 2013 adalah sesuatu yang menjengkelkan. Hanya saja, di abad “Perpustakaan Google”, kendala tersebut sejatinya bisa menjadi momentum atau pemicu sekaligus pemacu kebangkitan para guru Indonesia untuk menjadi penulis bahan ajar. Jika itu terjadi, maka tak akan ada lagi tragedi sampah busuk nyelonong ke dalam naskah buku-buku pelajaran anak sekolah.

Ah, angan-angan yang tidak membumi, barangkali. Lupakan saja. Tapi, sekurang-kurangnya ini tidak tergolong provokasi yang destruktif. Syukur-syukur ada yang sudah punya ide untuk berkolaborasi dengan saya. Setuju, Bapak dan Ibu Guru?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline