Lihat ke Halaman Asli

Dasi dan Simbol Agama

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah fungsi dasi? Sepertinya itu hanya aksesoris dan tidak memiliki fungsi sama sekali. Menurut Akbar S. Ahmed, dasi adalah barang imprealisme cultural kristiani yang sangat membahayakan. Dasi tergantung seperti salib di seputar leher, dan menarik pemakainya menuju Kristen. Ini mungkin dibesar-besarkan dan tidak akurat, namun jika kita perhatikan dengan seksama, dasi dengan kerah berhimpit, sugguh mempelihatkan bentuk salib (Akbar S. Ahmed, 1992:202). Namun menurut referensi yang saya baca, dasi pertama kali dipakai pada abad ke-16 oleh para prajurit Croation. Mereka mengenakan sepotong kain diikat di leher sebagai pakaian tradisonal. Perancis kemudian tertarik mengapdosi bentuk pakaian ini setelah para prajurit tersebut masuk Perancis. Beberapa abad kemudian, Inggris mengadopsinya, kebanyakan digunakan tentara, untuk menutup mulut dari debu dan menjaga agar leher hangat.Praktik mengenakan kain leher ini akhirnya merambat ke Amerika. Pada tahun 1864 Jerman dan Amerika mulai meproduksi versi modern dari ikat leher ini dan mereka mematenkannya. Lalu bagaimana dengan pernyataan “Dasi simbol dari Salib?” Syeikh Dr Sulaiman bin Salimillah ar Ruhaili berpandangan bahwa memakai dasi termasuk dalam kategori menyerupai orang kafir karena dasi adalah simbol dari salib. “Dasi itu termasuk pakaian khas orang kafir. Memakai dasi hanya dilakukan oleh orang-orang kafir. Pernah kubaca dalam sebuah literatur yang membahas sejarah orang kafir sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa dasi itu pengganti salib. Dulu orang Nasrani meletakkan salib dari kayu atau semisalnya dalam ukuran besar di leher mereka. Ketika mereka semakin modern dan merasa berat jika harus kemana-mana membawa salib maka mereka memakai dasi. Yaitu sebuah bentuk bunga yang berukuran panjang kemudian ada tali yang terjulur dari atas ke bawah. Dasi model ini lalu mereka kembangkan menjadi bentuk dasi saat ini. Syarat dasi menurut mereka adalah harus memiliki tonjolan di sisi kanan dan kiri dan ada kain panjang terjulur yang berada di tengah-tengah tonjolan tersebut. Ini adalah pengganti salib menurut orang Nasrani.” (http://www.archive.org/download/shar…-3-osoul_16.rm[/URL). Berbeda dengan Syeikh Dr Sulaiman bin Salimillah ar Ruhaili, Mufti Siraj Desai, seorang ulama yang sering dijadikan rujukan di Afrika Selatan membahas hukum memakai dasi bagi seorang Muslim. Walau ada beberapa referensi yang menjelaskan dasi merupakan simbol salib, namun Syeikh Siraj Desai menjelaskan bahwa dasi bukanlah simbol salib. Menurut mufti yang banyak berbijak kepada madzhab Hanafi ini, dalam banyak penelitian, tidak ada hubungan antara salib dengan dasi. Mufti Siraj Desai memandang bahwa dasi bukanlah simbol salib dan bukanlah simbol agama. Sebab itulah seorang Muslim boleh menggunakannya dalam kondisi tertentu. Namun, karena dasi (saat ini) tidak memiliki fungsi kecuali hanya sebagai model, maka makruh memakainya. Karena syariat tidak menghendaki seorang Muslim memakai pakaian yang tidak bermanfaat. Namun, jika tempat bekerja atau sekolah menuntut untuk menggunakan pakaian ini, diizinkan untuk mengenakannya. Sedangkan bagi mereka yang mengenakan dasi bukan karena alasan formal seperti di atas, bahkan karena hanya didorong ingin meniru budaya Barat atau percaya bahwa dasi adalah simbol kehormatan, maka dia berdosa dan memakai dasi dalam keadaan demikian dilarang, bukan makruh lagi. Dari penjelasan di atas, kita dapat simpulkan bahwa memakai dasi diperbolehkan jika sekolah atau tempat kerja kita mengharuskan memakainya. Namun di luar itu, sebaiknya kita menghindari memakainya karena menurut memakai dasi tidak ada manfaatnya, maka makruh memakainya. Karena syariat tidak menghendaki seorang Muslim memakai pakaian yang tidak bermanfaat. Referensi: http://kolom-hukum.blogspot.com/2011/11/mufti-afsel-jelaskan-hukum-mengenakan. html http://konsultasisyariah.com/apa-tolak-ukur-menyerupai-orang-kafir Ahmed, Akbar S (1992), Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline