Teruntuk, Suami Ibuku
Sisa peluh masa lalu di wajahmu
Masih melukiskan perjuanganmu
Tepat diwajahmu yang kian senja
Kutemukan sejuta bijak disana
Ada beribu tutur nasihat
Di setiap celotehan singkat, atau sekedar basa basi sambil minum kopi di pendopo rumah.
Kau laki-laki tua, penikmat kopi dan gemar berhayal mulutmu sering komat kamit, seperti dukun baca mantra. Yah aku tau kau berbicara dengan dirimu sendiri. Katamu lebih baik bicara sendiri tak ada yang tersindir kalau sudah tersindir kita akan hidup sendiri sendiri.
Oh ya.. bagaimana kabar angrek hutan yang kau tanam?
Terakhir kali, aku lihat bunganya sunguh indah
Aku berharap bunga yang indah itu tidak layu karena tiap pagi disirami omelan istrimu. Nanti sama nasipnya dengan bonsaimu sudah renta itu
Ssstt..pak tua jangan bilang pada istrimu, soal omelnya
Jika dia tahu, aku bakal kena semprot
Dasar anak tidak diuntung, orang tua ngomong tidak didengar.
Yah... Itu kata-kata awal sebelum dia mulai berorasi tentang hidup
Terima kasih pak tua
Kau selalu jadi pembelaku.
Jika nanti kau sempat membaca tulisan ini, lewatkan beberapa kalimat
Sampaikan saja pada istrimu
Kalau aku memang anak bandel, suka membantah tapi aku sangat sayang padanya, caraku menyayangi dia berbeda dari anak-anaknya.
Aku berharap kacamatamu yang sering kau simpan di atas lemari masih ada, bersihkan dulu debunya sebelum kau pakai.
Jika nanti kau baca tulisan ini
Tolonglah kau modifikasi bahasaku
Aku anak bandel yang suka ceplas ceplos, tapi dari hatiku yang terdalam aku sangat mencintai dia.
Tak usah mengkerutkan dahi pak tua
Aku juga menyayangimu.
Nah, aku suka senyummu yang begitu hanya sekilas tapi tulus
Aku tak tahu apa istrimu tau itu?
Yah tentu saja mungkin