Lihat ke Halaman Asli

Yiwa Landu Niki

Penulis konten tentang kehidupan

Antara "Kita" Versus Mereka dalam konteks Pilkada

Diperbarui: 7 November 2024   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar AI

Pilkada, sebagai bagian penting dari proses demokrasi, membawa harapan baru bagi masyarakat untuk memiliki pemimpin yang berpihak pada kesejahteraan dan pembangunan daerah. Namun, dalam realitasnya, proses ini sering diwarnai oleh polarisasi dan pembentukan kelompok "kita" versus "mereka" yang menyelimuti dan kadang mengaburkan tujuan utama dari pesta demokrasi ini.

Pembentukan pola "kita" dan "mereka" dalam konteks pilkada dapat dilihat sebagai akibat dari kebutuhan individu untuk terafiliasi dengan kelompok tertentu. Fenomena ini diwarnai dengan identitas politik yang kuat, di mana orang merasa lebih aman dan dihargai ketika berada dalam kelompok yang memiliki pandangan, visi, atau afiliasi politik yang sama. Di sisi lain, muncul rasa kecurigaan atau bahkan permusuhan terhadap kelompok "lawan", yang dianggap tidak sejalan atau bahkan mengancam kepentingan dan nilai-nilai yang dimiliki.

Momen pilkada juga mendorong kampanye yang sering kali membesar-besarkan perbedaan ini. Calon pemimpin, dalam upaya menarik simpati, kerap kali lebih memilih menggiring narasi untuk menonjolkan perbedaan "kita" dengan "mereka" daripada mengedepankan persatuan dan kesamaan tujuan. Hal ini menciptakan sekat sosial yang lebih dalam, di mana perdebatan politik berubah menjadi konflik identitas yang menyulut emosi.

Bagi masyarakat, polarisasi ini tentu memiliki dampak sosial yang nyata. Keluarga, komunitas, bahkan tempat ibadah bisa terpecah oleh perbedaan pilihan politik. "Kita" dan "mereka" menjadi pembatas hubungan, mengurangi semangat gotong royong, dan merusak keakraban antarwarga yang seharusnya bersatu untuk tujuan bersama.

Namun, jika dicermati, "kita" dan "mereka" dalam konteks pilkada sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus selalu dihindari. Polarisasi bisa berfungsi positif jika diiringi dengan kesadaran bahwa perbedaan pandangan adalah hal wajar dalam demokrasi. Keberagaman pilihan dan perbedaan sudut pandang semestinya mendorong kita untuk saling menghargai dan memahami, bukan membenci.

Kunci untuk mengatasi efek negatif polarisasi ini adalah membangun pola pikir inklusif yang melampaui sekadar dukungan politik. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa perbedaan pilihan politik tidak berarti perbedaan tujuan, karena sesungguhnya kita semua memiliki visi yang sama untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. Di sinilah peran pendidikan politik yang bijak dan media sebagai pilar informasi yang berimbang menjadi sangat penting.

Melalui dialog terbuka, keterbukaan hati, dan penghormatan atas hak memilih setiap individu, kita bisa melewati momen pilkada dengan persatuan. Alih-alih memperuncing batas antara "kita" dan "mereka," pilkada harus menjadi kesempatan bagi kita semua untuk merajut kembali persaudaraan di tengah keberagaman politik, karena pada akhirnya, baik "kita" maupun "mereka" adalah bagian dari bangsa yang sama, yang menginginkan masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline