Media massa yang ideal adalah institusi yang terbebas dari tekanan atau campur tangan dari pihak eksternal. Media massa yang bebas harus mampu untuk membangun satu objektivitas yang tepat. Salah satu versi komponennya telah ditetapkan oleh Westerstahl (1983) dalam konteks penelitian tentang tingkat objektivitas yang ditunjukkan oleh sistem penyiaran Swedia. Objektivitas dalam Media Massa dibangun dari dua hal yaitu Faktualitas, dan Ketidakberpihakan.
Faktualitas mengacu pada bentuk laporan yang berkaitan dengan peristiwa dan pernyataan yang berdasarkan sumber yang dapat diperiksa dan bebas dari komentar. Faktualitas ini melibatkan beberapa unsur kebenaran lainnya yaitu: kelengkapan laporan, akurasi dan niat baik untuk tidak menyesatkan. Aspek lain dalam skema ini adalah relevansi. Sebuah peristiwa dikatakan relevan apabila mampu mempengaruhi khalayak dalam jumlah yang banyak, Westerstahl menambahkan aspek Informasi dalam aspek faktualitas untuk makna objektivitas yang lebih lengkap.
Ketidakberpihakan didukung indikator seperti: Keseimbangan dan Netralitas. Artinya, jika membahas soal ketidakberpihakan/impartiality, media massa seharusnya tidak terikat pada kepentingan politik manapun. Menurut skema Westerstahl, ketidakberpihakan mengandaikan 'sikap netral' dan harus dicapai melalui kombinasi keseimbangan (waktu/ruang/penekanan yang sama atau proporsional) antara interpretasi yang berlawanan, sudut pandang atau versi peristiwa, dan netralitas dalam presentasi.
Namun, beberapa potensi kesulitan tertanam dalam norma-norma ini, terutama karena ketidakpastian tentang apa tau bagaimana kah yang merupakan pasokan informasi yang memadai atau relevan. Sifat objektivitas sendiri sering menjadi perdebatan karena dari sini akan menghasilkan bias yang baru yang lebih terorganisir, dan objektivitas itu sendiri akan dengan mudah dibeli oleh pihak yang dominan dalam sebuah permasalahan, sehingga objektivitas itu sendiri tidak jarang dianggap menjadi bias baru dalam media massa.
Pada tabel Dennis McQuail. dalam bukunya berjudul Mass Communication Theory, media massa tidak akan pernah lepas dari tekanan dan kepentingan, baik itu tekanan dari pemilik media massa, khalayak, maupun budaya. Ada empat pihak yang memberikan tekanan pada media massa dalam operasionalisasi di Newsroom. Di pihak eksternal formal ada hukum dan regulasi yang dilaksanakan melalui jalan kejaksaan, dan pengaturan publik. Di pihak eksternal informal terdapat kepentingan pasar, grup lobby, opini publik, review dan kritik dari khalayak. Sementara itu di dalam internal media massa itu sendiri terdapat kelompok internal formal yang didalamnya terdapat manajemen media massa itu sendiri, peraturan yang dibuat oleh industri, dan kultur organisasi. Di sisi internal informal terdapat profesionalisme wartawan, dan kode etik jurnalistik.
Terkait dengan media massa di Indonesia, pihak eksternal formal meliputi Komisi Penyiaran Indonesia, maupun Persatuan Wartawan Indonesia yang menciptakan regulasi tentang bagaimana media massa seharusnya menyajikan berita. Pihak eksternal informal meliputi segmentasi pasar, siapa yang menonton tayangan dan siapa yang dapat membangun opini publik, sehingga khalayak akan menonton tayangan atau siaran di channel media massa tersebut.
Untuk bisa memberikan efek kepada khalayak, sebagaimana diinginkan oleh institusi media massa tentu mereka akan menayangkan berita yang mampu membentuk opini publik, seperti contoh Metro TV yang menampilkan pemberitaan tentang Anies Baswedan yang akan menjadi capres dari partai Nasional Demokrat. Pihak Internal Formal Media Massa termasuk peraturan penayangan berita yang dilakukan oleh para gatekeeper, dan tentunya masih ada keterikatan dengan kepentingan pemilik media massa. Dalam posisi Internal Informal, jurnalis dituntut untuk mengikuti kode etik jurnalistik, dan peraturan-peraturan profesionalisme yang harus dilaksanakan oleh setiap reporter/jurnalis.
Dari paparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa media massa tidak benar-benar bebas dalam proses penyajian berita baik di internal media massa itu sendiri maupun di pihak eksternal media massa tersebut, karena media massa sendiri masih memiliki kepentingan ekonomi untuk mendanai operasionalisasi media massa itu sendiri.
Tayangan berita di media massa di Indonesia sendiri masih ada dibawah kelompok kepentingan yang juga pemilik media massa. Seperti contoh metro TV yang selalu memberitakan kesuksesan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden yang diusung oleh Partai Nasional Demokrat. Dapat dikatakan bahwa hal ini adalah campur tangan dari Surya Paloh sebagai pemilik media massa yang juga pemilik partai Nasional Demokrat yang mencalonkan Anies Baswedan untuk pilpres tahun 2024. Ketidakberpihakan media massa di Indonesia juga tidak akan terjadi. Hal ini nyata karena pemberitaan yang ditayangkan oleh Metro TV group akan lebih berpihak kepada Anies Baswedan.
MNC Grup yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo, sebagai ketua umum partai Perindo juga dalam pemberitaannya akan cenderung untuk 'mengampanyekan' Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang diusung oleh PDI Perjuangan. Dari fakta ini dapat dipahami bahwa faktor politik mempengaruhi operasionalisasi newsroom MNC Group
Tidak hanya itu, Gramedia Group, sekalipun pemilik media massanya tidak ada afiliasi politik dengan partai manapun tapi mereka akan cenderung untuk menampilkan pemberitaan yang lebih berpihak kepada Ganjar Pranowo, dan meliput setiap aktivitas capres dari PDI Perjuangan tersebut. Boleh jadi dalam kasus ini dapat dikatakan sebagai kelompok kepentingan atau pihak eksternal yang memberikan sedikit tekanan pada organisasi media massa tersebut, supaya ada pemasukan dana dari pemberitaan-pemberitaan yang ditayangkan di media massa.