Lihat ke Halaman Asli

Pengadilan Tipikor Daerah: Sebuah Kegerahan Korupsi

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak wacana yang didengung untuk membubarkan Pengadilan Tipikor di daerah, banyaknya putusan bebas yang dilakukan hakim tipikor menuai kritikan dari berbagai pengamat hukum. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 40 terdakwa kasus korupsi divonis bebas di pengadilan tipikor daerah. Data ICW, 40 vonis bebas itu terdiri dari empat vonis bebas di Bandung, satu di Semarang, 14 Samarinda, dan 21 Surabaya. Menurut mantan hakim karir, Benyamin Mangkudilaga dalam acara Indonesia Lawyer Club, Hakim adalah sosok manusia biasa yang setiap putusannya selalu menggunakan nurani hukum dan bukan nurani tekanan publik. Oleh sebab itu menurut Benyamin Mangkudilaga, hakim yang tegas dalam menentukan putusan, apapun resikonya itulah sebuah putusan yang harus disampaikan.

Komisi Yudisial, sebuah komisi yang mengawasi kinerja Hakim di Mahkamah Agung (MA) telah meminta MA dapat segera membekukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) di daerah-daerah. Seperti dikutip dari Kompas, KY menilai dengan pengakuan MA bahwa proses pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah memang tidak dipersiapkan dengan baik, maka sudah selayaknya proses peradilan di Pengadilan tersebut dihentikan. Ia menilai, hal tersebut tetap dibiarkan justru nantinya akan menimbulkan preseden buruk dalam sistem peradilan di Indonesia.

Kegerahan banyak pihak memang bisa dimengerti, kasus-kasus korupsi didaerah memang sudah sangat banyak dan membutuhkan penanganan melalui Pengadilan Tipikor di daerah-daerah. Menurut pakar hukum dari pidana dari UII Yogyakarta dalam voanews, Abdul Kholiq SH M.Hum, Vonis bebas di sejumlah pengadilan tipikor tidak bisa dijadikan alasan pembubaran lembaga tersebut. Seharusnya yang dilakukan adalah evaluasi menyeluruh, mulai sejak proses pembuatan undang-undangnya, proses seleksi dan upaya pengawasan pengadilan ini. Selanjutnya Abdul Kholiq SH M.Hum, menilai Jika ditemukan berbagai kekurangan, maka yang harus dilakukan adalah pembenahan, bukan pembubaran. “Undang-undang yang menjadi landasan hukum pembentukan Pengadilan Tipikor yaitu nomor 46 tahun 2009, bisa dikatakan baru berlaku beberapa saat. Meskipun memang sangat mencengangkan putusan dari Pengadilan Tipikor daerah, tetapi itu tidak bisa digeneralisir sebagai gambaran buruknya keseluruhan sistem peradilan Tipikor daerah.

Kalau akhirnya, SDM hakim yang menjadi masalah pengadilan tipikor selalu ini, KY dan MA seharusnya harus merumuskan mekanisme untuk memciptakan hakim kredibel dalam menilai dan memutuskan kasus-kasus korupsi yang ada di daerah. Smoga sekedar masukan ini memberikan wacana lain bagi perbaikan citra hukum Indonesia.... Apakah anda punya pendapat lain...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline