Lihat ke Halaman Asli

Persaingan Tak Sehat Dunia Periklanan dan Dampaknya

Diperbarui: 1 November 2017   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Konsumtif telah menjadi suatu hal yang melekat dalam kehidupan masyarakat masa kini. Kemajuan ekonomi dan perkembangan gaya hidup menjadi salah satu penanda dalam budaya konsumsi. Orang-orang semakin lama menganggap bahwa atribut yang mereka pakai seperti pakaian, perhiasan dan sebagainya bukan lagi sekedar memiliki fungsi secara fungsional, tetapi juga sebagai penanda dan identitas akan strata orang tersebut di mata masyrakat.

Pengaruh dari media yang tiada henti, terutama dalam iklan, menanamkan image secara tidak langsung kepada masyarakat, sehingga membentuk sebuah keinginan, pengharapan dan hasrat manusia, yang kemudian menjadi sebuah kekuatan dalam kapitalisme. Maka jangan salah ketika para penguasa dan pelaku utama dalam roda kapitalisme ini saling bersaing, entah dari iklan komersil maupun politik yang mereka usung. Semua kembali bertujuan untuk menanamkan ingatan akan produk mereka atau bahkan jargon politik di benak masyrakat sebaik mungkin.

Oleh sebab itu, mereka mulai mengambil segala cara agar nilai dalam iklan yang mereka usung bisa tertanam dalam masyarakat. Bahkan meskipun itu menggunakan cara kotor dalam pengadaan iklan di ruang publik; mereka kerap kali memasang iklan secara massal dan ditempatkan di semua tempat. Dengan harapan bahwa akan banyak orang yang melihat dan memori akan produk mereka tertanam dalam benak masyarakat.

Yang lebih ditakutkan adalah kekuatan dari isi dan dampak dari iklan tersebut. Kita bisa mengambil contoh seperti iklan kecantikan dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan pola gaya hidup menjadikan banyak wanita kini memiliki ekspetasi untuk tampil cantik dan sehat. Semakin banyak bermunculan iklan produk atau klinik kecantikan yang manampilkan image wanita cantik berkulit putih mulus dalam iklan mereka. Sehingga nilai itu kemudian terdoktrin dalam masyarakat dan menjadi suatu 'standar' kecantikan tersendiri bahwa wanita cantik itu ialah yang kulitnya putih bersih dan mulus. Tentunya dampak yang terjadi adalah tidak sedikit wanita merasa minder dengan warna kulitnya. Orang-orang akan saling berlomba, menggunakan segala cara hanya demi memenuhi ekspetasi, yang sebenarnya hanyalah sebuah ego sendiri akan pengakuan dan penerimaan dirinya dalam lingkup masyarakat.

Kembali dalam ranah konsumtif, kita bisa melihat beberapa iklan belakangan ini kerap kali menampilkan sosok publik figur sebagai endorse dari sebuah brand. Hal ini pun bisa memiliki dampak hebat dalam masyarakat dimana masyarakat mulai tergiring untuk juga menggunakan brand tersebut karena ingin mengejar nilai prestis dalam kehidupan metropolitan.

Orang-orang semakin tergiur untuk menggunakan brand tertentu demi pemenuhan nilai prestis di mata masyarakat, meskipun seringkali hal itu sebenarnya bukanlah kebutuhan yang benar-benar sedang mereka butuhkan sekarang. Seperti halnya handphone, kita bisa mendapati beberapa orang disekitar kita yang kerap kali gonta-ganti handphone mengikuti perkembangan kekinian, meskipun sebenarnya handphone lamanya sebenarnya masih bisa digunakan . Tapi itu menambah nilai spesial sendiri baginya yang terbutakan oleh kesadaran palsu bahwa ia punya handphone kekinian dan tercanggih saat ini. Membuatnya menjadi sebuah kebutuhan primer ketimbang menjadikannya sebagai kebutuhan sekunder di kalangan masyarakat. Hal-hal ini yang dirasa semakin menggiring kontestasi ruang publik, semua orang saling bersaing untuk menanamkan nilai brandnya di masyarakat.

Untuk mencegah terjadinya pendoktrinisasi oleh ikan, terkadang kita harus membalas api dengan api, dimana iklan mendoktrinkan kapitalisme dan standar-standar kecantikan dan sebagainya, kita dapat membantah dengan kampanye yang bilang sebaliknya. Dari sisi klien, mereka bisa memikirkan inovasi tertentu, seperti meningkatkan kualitas produk sehingga loyalitas konsumen tetap terjaga. Dari sisi desainernya bisa mengarahkan desainnya kepada alternative media lain seperti ambience. Pemerintah juga harus mempertegas kembali aturan pemasangan iklan, sesuai perda. Atau, iklan dapat dipindahkan ke ranah digital. Kita sebagai masyarakat juga harus lebih peka terhadap sekitar dan mulai mengurangi masalah-masalah sosial yang sering dijadikan bahan oleh iklan-iklan untuk "mempelatuk" kita.

Ditulis oleh : Atika Fauzia, Rut Natalia, Maghfira Nurul Aina, Novi Octavia, Ni Putu Yeusia C.D.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline