Lihat ke Halaman Asli

Yety Ursel

Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

(Puisi Tiga Puluh Satu Hari) Catatan Rindu

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14199801461955080072

Tanggal satu

Rinduku membiru

Pada detak lembut jantungmu

Dan sentuhan hangat di ujung nafasmu



Tanggal dua

Lara yang kurasa seharusnya tak ada

Lalu  kuusir duka

Harapkan wujudmu menjelma



Tanggal tiga

Ternyata aku hanya sendiri di sini

Rinduku hanya di rasa

Tapi tak pernah berwujud



Tanggal empat

Kusebut namamu

Dalam tiap tarikan nafasku


Tanggal lima

Hanya desau angin yang terdengar

Bahkan pantulan namamu pun tidak

Aku masih merindu


Tanggal enam

Rindu ini masih saja kupagut

Tak perduli mimpi kian jadi semu

Entah bila

bait-bait laguku mencipta rima

Mengalun dalam nada

wujudkan pasti yang tak hanya entah


Tanggal tujuh

Kupunguti lagi asa yang terserak

Semainya di taman hati yg masih tetap (saja) setia

(Mungkin) kubutuh seribu luka

Tuk percaya kau hanya fatamorgana

Aku masih bodoh dalam merindu


Tanggal delapan

Kutelusuri jejak-jejak samar

Harap temukan sebuah isyarat

Kisah kita pernah ada

Akan tetap ada

Namun jejak itu kian menghilang

Dalam lenggang temaram senja




Tanggal sembilan

Sapa pagi tak sertakan senyum mentari

Bayangmu hilang mewujud luka

Pahamku tentangmu makin bias

Tapi mengapa aku masih saja tasbihkan rindu


Tanggal sepuluh

Haruskah kuluruhkan semua harap

Biarkan semua melenyap

Lalu kueja satu- satu aksara lain yg terserak

Tidak...

Aku akan tetap di sini..

Sampai kau temukan semua yang tersembunyi

@@@@@@@@@@@@@

Tanggal sebelas pun terusik

Setelah titian hari kian melapuk

Tak lagi mampu sangga kumpulan luka

Setelah perjalanan panjang yg melukis kenangan

Tak terlupakanJuga menyakitkan


Tanggal dua belas

Kujejaki dengan bimbang

Lahan angan yang telah membuatku terus bergumul menahan rindu

Akankah berlabuh di sini?

Pada ruang-ruang tak bertepi

Hanya gulita menyimpan gundah

Ketika rinduku terus mengangkasa

Dan kau masih belum berpaling


Sudah tiba di tanggal tiga belas

Rinduku menjelma embun pagi di musim penghujan

Siapa kan peduli pada beningmu bila hujan akan segera luruh?

Aku mulai ragu pada rindu yg tak berkesudahan...




Pagi di tanggal empat belas

Rinduku seperti menghitung rinai gerimis

Tak segera berakhir meski telah sampai di ujung malam

Ciptakan gigil ketika angin berhembus

Aku masih saja jaga  ruang rinduku

Menunggu kepulanganmu


Tanggal lima belas

Masih dalam gerimis yang memelas

Dekap tubuh tahan gigil

Atas rindu yang tak terbendung

Meluap tuk jangkau riak senyummu

Kau masih saja beku,  senyum tanpa makna




Tanggal enam belas

Mulai kurutuki hati

Yang tetap agungkan setia

Padahal telah ribuan luka tertoreh

Ternyata aku masih saja bodoh

Dalam merindu


Tanggal tujuh belas

Rindu tiada juga berbalas

Haruskah kusibak kumpulan awan

Agar tatapku lurus pada mentari

Lalu biarkan gigilku menguap bahkan hatiku mencair karena panasnya?

Ternyata menyimpan rindu diam - diam

Seperti perihnya menelan duri kehidupan

Aku mulai lelah dalam merindu


Tanggal delapan belas

Rinduku seperti pengelana yang berjalan bimbang

Tersesat pada sebuah rasa tanpa asa

Tak lagi ada arah

Mungkin rasa sakit ini adalah pertanda

Rinduku  sia- sia


Tanggal sembilan belas

Cintamu  perangkapku dalam takdir

Mencintamu dalam diam

Adalah sakit yang indah..

Aneh...

Aku kehilangan akal, karena merindumu


Tanggal dua puluh

Langkahku kini  tertatih

Mengejar yang tak pernah terkejar

Luka perih telapak kaki

Memerihkan hati

Menemukanmu yang tak tertemu

Sudut rinduku masih bertahan diam diam

Gila! Semua tak juga berakhir

@@@@@@@@@@@@@@@@

Tanggal dua puluh satu

Kumengejar bayang tak nyata

Dan hanya ciptakan lara tanpa akhir

Tanpa ujung...




Tanggal dua puluh dua.

Rinduku menjelma embun

Beku...

Gigil melahap rasaku

Pencarianku tak berarah

Sesat

Dirimu bukan mentari yg hangatkan

Degup rinduku makin beku


Tanggal dua puluh tiga

Pagi belum juga membawa hangat

Gigil kian menusuk

Dimana kan kutabur sepi ini?

Sementara rindu tak juga bertemu kata tamat


Tanggal dua puluh empat

Rasaku tak juga kalah pada segenap luka..

Rindu tetap kerangkengku

Dalam hidup   tak berupa


Pagi di tanggal dua lima

Telah jadi sia sia semua cerca

Tak juga bernilai asa yang kucipta

Meluruh...

Runtuh...

Cinta ini kini beku

Tergerus arus

Hilang....

Tak kutemukan tempat berlabuh


Tanggal dua enam

Seharusnya  telah tiba di akhir

Eja lagi kata baru

Bukan hanya rindu yang masih saja semu

Hayal dan nyataku ternyata tak berbatas

Aku ada di antaranya


Tanggal dua tujuh

Kupahat lagi harap

Walau hanya dari puing rindu yg terserak

Anganku tentangmu melambung terlalu tinggi

Kapan kau sadari itu?



Tanggal dua delapan

Hanya berbilang hari lagi

Dan semua akan kubiarkan sampai di titik

Jika nantinya kau sadari sakitnya dalam rindu

Berharaplah ketika itu cintaku belum mati




Tanggal dua puluh sembilan

Kembara rinduku tak juga temukan labuhnya

Terambing dan putus asa

Kubiarka tetap  bersemayam dalam hati

Walau harus berbalut luka


Tanggal tiga puluh

Tak ingin lagi kuberpeluh

Mengejar bayangmu yang terus menjauh

Sudah waktunya aku berhenti

Menyimpan semua rasa ini pada sudut setiaku


Tanggal tiga puluh satu

Bayangmu pun pupus

Habis...

Perih tak boleh lagi memerih

Di balik dinding itu ku kan temukan asa lain

Walau tak seutuhnya bisa gantikan hadirmu

Setidaknya,  kini aku tahu

Arti setia dalam rindu yang beku



 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline