Saya coba meraba-raba tas kulit wanita model selempang yang ada di hadapan saya. Dengan jujur dan bangga, si pedagang mengatakan bahwa tas tersebut merupakan KW super dari brand ternama.
Secara detil saya perhatikan sambil membayangkan tas brand ternama dengan harga selangit yang cuma bisa saya pandangi dan elus-elus di etalase mal bergengsi di Jalan Thamrin, Jakarta, sekadar untuk menyalurkan hasrat cuci mata karena gaji PNS sebulan tidak cukup untuk membelinya. Hemm, di mana letak perbedaannya nyaris tidak dapat saya temukan, mulai dari model hingga tekstur kulitnya hampir serupa.
"Jadi mau pilih yang mana, Bunda?" tiba-tiba suara penjual tas tersebut menbuyarkan konsentrasi saya. Sebetulnya tidak ada niat sedikit pun untuk membeli tas tersebut. Saya hanya takjub kenapa tas brand terkenal dengan model yang sama di toko terkemuka bisa berada di pertokoan bawah tanah dengan harga yang sangat miring. Saya benar-benar penasaran.
"Mah, itu kan tas yang Mama mau beli minggu lalu, iya kan? Kenapa harganya jauh lebih murah, Mah?" Rupanya anak saya masih teringat kejadian minggu lalu, kala kami jalan-jalan di mal yang saya sebut tadi.
Budaya malu sejatinya adalah budaya bangsa Timur dan Asia, termasuk saya dan si penjual tas. Andai kemudian saya tergoda untuk membeli tas KW super, tentu tanpa sadar sebetulnya saya tengah mempermalukan diri saya sendiri. Nah, hal tersebut kembali pada sikap mental di dalam diri kita masing-masing.
***
Sejak memasuki era pasar bebas, di Indonesia banyak beredar barang-barang bajakan atau lebih dikenal dengan barang imitasi atau kualitas, disingkat "KW". Keberadaan barang KW yang masif ini tentu merugikan banyak pihak, utamanya produsen barang-barang asli.
Lalu, bagaimana caranya meminimalisir permasalahan ini? Caranya adalah dengan upaya represif, preventif, maupun dan pre-emptif. Upaya pre-emptif dilakukan dengan cara penyadaran, yaitu pendidikan.
Oleh karena itu, memberikan kesadaran tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hal yang sangat penting dan wajib untuk dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Pemahaman tentang HKI perlu diberikan sejak dini, sebagai upaya membentuk kualitas pribadi dan karakter yang baik, agar terbiasa menghargai hak orang lain.
Nah, kurikulum pendidikan terkait HKI di antaranya adalah pelajaran tentang hak cipta. Melalui mata pelajaran itu, diharapkan siswa benar-benar paham tentang pembajakan, sehingga mereka akan menjadi generasi yang tidak menyukai produk bajakan.
Selain itu, diharapkan setiap siswa dapat belajar memahami hak yang dimikilinya. Sehingga, jika suatu saat dia menghasilkan suatu karya dari pemikiran kreatif atau intelektualnya dan karya tersebut dapat dimanfaatkan oleh dirinya serta orang banyak, maka tidak dibenarkan jika hasil pemikirannya tersebut dijiplak seenaknya oleh orang lain.