Lihat ke Halaman Asli

Yesty Yolanda

Mahasiswa Universitas Andalas

Ekowisata Indonesia Masa Depan: Bisakah SDA Ekowisata Dikelola dengan Baik?

Diperbarui: 5 Desember 2022   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu penyebab rusaknya sumber daya alam dan lingkungan hidup manusia di Indonesia adalah terbatasnya kemampuan untuk mengelola sumber daya alam tersebut secara seimbang. Sumber daya alam terbesar Indonesia sendiri berasal dari laut. Dengan dicanangkannya tahun 2003 sebagai "Tahun Bahari" diharapkan dapat meningkatkan dorongan untuk lebih mengenal laut dan mencapai keseimbangan yang optimal dalam pemanfaatannya.

Mengingat keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya, pengembangan ekowisata di Indonesia saat ini tidak sebanding dengan potensi wisata sumber daya alam skala besar. Menurut Koes Saparjadi selaku Direktur Jenderal Departemen Konservasi Hutan dan Konservasi Alam, mengatakan dalam sambutannya pada acara penandatanganan kerjasama antara Departemen Kehutanan (Dephut) dan ASITA (Association of Indonesia Tour and Travel Agency), upaya "menjual" taman nasional, taman suaka alam, taman buru dan suaka margasatwa yang dikelola oleh Dephut terkendala fasilitas perhubungan. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman akan fungsi dan potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber devisa negara dari sektor ekowisata, mengingat ekowisata bukanlah wisata massal melainkan wisata eksklusif.

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, dikenal memiliki sumber daya alam, fauna, dan flora yang sangat kaya. Para explorer dari Barat dan Timur telah mengunjungi Indonesia pada abad ke-15. Perjalanan eksplorasi untuk mengetahui kondisi belahan benua lainnya, yang dilakukan oleh Marco Polo, Washington, Wallacea, Weber, Jonghun, Van Staines, dan masih banyak lainnya, menandai dimulainya perjalanan antar pulau ke benua. Para petualang ini memulai perjalanan ke alam, yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata. Beberapa perjalanan ini tidak memberi keuntungan bagi konservasi kawasan alami, kebudayaan asli, atau spesies yang terancam punah (Lascurin, 1993; Chafid Fandeli, Mukhlison, 2000).

Simposium Ekowisata yang diadakan di Bogor pada tanggal 16-17 Januari 1996, mengeluarkan rumusan tentang ekowisata. Hal ini untuk melaksanakan kegiatan kepariwisataan secara bertanggung jawab di tempat atau kawasan alami yang tercipta dari kaidah alam yang mendukung berbagai upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rumusan ini berakar pada konsep ekowisata dari The Ecotourism Society yang berbunyi : ecoturism is a purposeful travel to natural areas to understand the culture and natural history of environment, taking care not to alter the integrity of the ecoystem, while producing economic opportunities that make the conservation of natural resources benefecial to local people, namun perumusan ini tentunya disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. 

Studi Kasus Pesisir Muaragembong

Di sepanjang Pesisir Muaragembong masih terdapat hutan bakau yang sebagian telah menjadi tambak udang dan ikan, namun sebagian besar lainnya masih rimbun terutama di sepanjang bantaran sungai. Sehingga dengan adanya pengelolaan yang baik, dan tindakan yang serius hutan mangrove dapat dipertahankan, dan dapat dikembalikan seperti semula. Masih memungkinkan berkembangnya berbagai biota yang menjadi ciri khas hutan mangrove, seperti keberadaan kepiting bakau dan burung yang hinggap pada musim tertentu.

Ada tiga Muara Besar yang mungkin bisa masuk ke Muaragembong dengan perah yaitu: Muara Bendera, Muara Mati dan Muara Bungin. Nelayan membawa ikan hasil tangkapan di sekitar muara sungai ke pasar. Ada pedagang yang siap mengambilnya. Selain menerima pasokan ikan dari nelayan, pedagang (pareles) juga menerima penjualan udang dari tambak Muaragembong. Di sepanjang sungai yang digunakan sebagai pelayaran terdapat beberapa variasi wisata yang dapat ditemui yaitu, hutan bakau, burung migran, kepiting bakau, biawak dan monyet. Wisatawan juga bisa berbelanja di sepanjang sungai dan memasak ikan segar di rumah-rumah penduduk. Kehidupan masyarakat disana menjadi ciri tersendiri karena berasal dari wilayah Indonesia, meski didominasi penduduk Betawi. Jadi ada asimilasi kebudayaan yang menarik.

Pemerintah sudah memiliki rencana untuk mengalokasikan ruang untuk kawasan ekowisata untuk pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Tarmajaya dan Muaragembong. Namun, sejauh ini belum dilaksanakan karena pemerintah masih fokus pada nilai ekonomi tambak yang dapat berdampak langsung bagi masyarakat. Di sisi lain, saat ini belum ada pemahaman masyarakat tentang pariwisata di kawasan Muaragembong.

Kegiatan ekowisata merupakan jenis wisata yang memiliki biaya lebih mahal dibandingkan jenis wisata lainnya, mengingat pengelolaan kawasan ekowisata harus mengontrol kuantitas dan kualitas pengunjung. Pengelola ekowisata harus mampu memenuhi misinya menjaga lingkungan di samping menerapkan prinsip ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.Tidak semua kawasan pesisir Muragempon memiliki potensi untuk pengembangan wisata. Keberhasilan bisnis ekowisata di suatu wilayah juga bergantung pada faktor-faktor berikut:

1. Pemilihan lokasi harus unik dan mudah dijangkau dengan sarana transportasi yang ramah lingkungan.

2. Perencanaan dan persiapan di bidang ekowisata, di mana masyarakat lokal berpartisipasi dalam pelaksanaan ekowisata sebagai proyek bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline