Tingginya angka perceraian pada saat pandemi cukup mengejutkan, tetapi masalah tersebut bukan sebuah fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, angka perceraian meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2014, sebanyak 344.237 kasus perceraian terjadi di Indonesia. Kemudian naik menjadi 365.633 kasus perceraian di tahun 2016 dan sebanyak 419.268 kasus terjadi pada tahun 2018 (Pasangan Muslim). [1][2]
Tentunya perceraian tersebut bukan tanpa sebab. Banyak masalah yang menjadi pemicu utama istri menggugat cerai, suami menggugat cerai atau suami dan istri sepakat untuk mengakhiri bahtera rumah tangga mereka.
Misalnya krisis keuangan karena suami dan istri tidak memiliki pekerjaan, krisis akhlak seperti penganiayaan terhadap istri atau adanya orang ketiga yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Meski demikian, tidak sedikit pasangan suami-istri yang memilih mempertahankan bahtera rumah tangga mereka walaupun banyak badai masalah yang menerpa kehidupan mereka.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perceraian bukan satu-satunya solusi setiap masalah yang dialami dalam kehidupan rumah tangga. Ada hal yang lebih penting untuk dipertimbangkan daripada sekedar menggugat cerai.
Bagi penulis, salah satu hal terpenting yang harus dipikirkan oleh pasangan suami-istri pada saat menghadapi masalah dan harus dipertimbangkan sebelum menggugat cerai adalah psikologi anak-anak.
Harus diakui, meskipun anak bukan tujuan utama menikah, setiap orang yang memutuskan untuk menikah berharap memiliki buah hati. Kehadiran buah hati adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi pasangan suami-istri bahkan menurut tuturan orang tua, banyak anak adalah simbol banyak berkah yang akan diperoleh dalam kehidupan.
Anak-anak merupakan arti dari sebuah perjuangan. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga nasional di Inggris mengungkap bahwa memiliki anak tidak semerta-merta membuat seseorang bahagia atau lebih puas akan kehidupan, tetapi merupakan sebuah alasan bagi orang tua untuk berjuang.
"Meski kehadiran seorang anak tidak akan mengubah kepuasan hidup seseorang atau meningkatkan emosi harian, namun bisa memberikan arti dan tujuan untuk kehidupan seseorang (orang tua)," begitu laporan yang dituliskan oleh Office for National Statistics mengenai studi yang diminta oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron dikutip dari beritasatu.com
Sebaliknya, bukan hanya kehadiran anak yang terpenting bagi orang tua tetapi kehadiran kedua orang tua bagi anak juga penting untuk kehidupan mereka (anak-anak).