Penulis : Yesi Moci
Kurebahkan tubuh di atas Kasur Kapuk yang telah menemaniku sejak lahir. Untuk kesekian kalinya aku menatap gambar motor Harley Davidson di dinding kamarku. Seandainya aku bisa memiliki motor--meski bukan Harley Davidson--aku pasti akan merasa senang. Kesempatan itu hampir aku dapatkan, seandainya Kakek mau sedikit mengalah untuk cucunya. Tapi angan itu kembali terhempas.
Pikiranku terus terusik akan pertengkaranku dengan Kakek tadi siang. Hampir semua warga disini akan menjual sawah mereka pada seorang konglomerat asing. Tapi Kakek tetap bersikukuh untuk tidak menjual sawahnya. Kalau saja Kakek mau menjual sawahnya, mungkin aku bisa mewujudkan keinginanku untuk memiliki sepeda motor. Hal ini membuat aku kesal.
Konglomerat asing itu akan membuat Pabrik Tekstil dikampung kami. Letak kampung kami memang dekat dengan pusat kota, mungkin kondisi ini di anggap strategis untuk membangun sebuah pabrik. Konglomerat itu berencana membangun di atas persawahan yang dekat dengan jalanan besar. Itu berarti akan menyita hampir separuh persawahan dikampung kami.
Sawah Kakek letaknya sangat dekat dengan jalan raya, karenanya konglomerat itu bersedia membayar dua kali lipat dibanding sawah petani lain. Tapi Kakek tetap tidak mau menjualnya. Entah apa yang ada dipikiran Kakek, padahal aku sudah memaksa Kakek untuk mau menjual sawahnya agar aku bisa memiliki motor.
Aku sudah bosan pulang-pergi sekolah naik angkot. Panas, bau, dan yang paling menyebalkan buatku kalau harus seangkot dengan ibu-ibu yang suka ngegosip. Bikin bising telinga. Meski tidak mau mendengar, tetap nyangkut ditelinga ini. Belum lagi kalau harus berhadap-hadapan dengan perempuan yang memakai Rok Mini, hampir meruntuhkan imanku saja. Apalagi usiaku ‘kan masih remaja, dimana darah muda masih menggejolak.
“Ingat, Guh! Kendaraan setiap tahun bisa terus bertambah jumlahnya. Kamu bisa membelinya kapanpun kalau punya uang, bahkan bisa dibeli dengan kredit. Tapi sawah, setiap tahun terus berkurang karena banyak yang dijadikan rumah, pertokoan dan pabrik-pabrik. Saat itu kamu tidak akan bisa membeli sawah meski kamu punya uang. Kalau kita tidak bisa mempertahankan sawah-sawah yang masih ada, bagaimana nasib generasi yang akan datang? Dari mana mereka akan makan, jika kehilangan lahan untuk menanam bahan makanan?,” begitu Kakek memberi alasan kepadaku tadi siang.
“Tapi aku ingin membeli sepeda motor, Kek!,” sergahku. “Aku ingin pergi sekolah dengan mengendarai motor sendiri, bukannya naik angkot!”
“Kakek ngerti, Guh! Tapi tidak mungkin kita menjual harta kita yang hanya satu-satunya ini untuk membeli sepeda motor yang menurut Kakek belum terlalu dibutuhkan. Suatu saat kalau kita punya rizki, insya Allah Kakek belikan sepeda motor untukmu. Karena Kakek juga ingin membahagiakan kamu dan almarhum orang tuamu. Tapi yang penting sekarang, bagaimana agar kita bisa tetap makan untuk hari ini dan beberapa tahun ke depan dari hasil panen sawah kita. Kamu toh tetap bisa sekolah meski tanpa sepeda motor. Kakek berharap, kamu bisa sedikit lebih bersabar dengan keadaan kita yang pas-pasan seperti ini.”
Sabar? Ini sih bukan masalah sabar! Aku rasa, aku sudah cukup sabar. Selama dua tahun duduk dibangku SMU, aku tidak pernah mengeluh meski pulang-pergi sekolah naik angkot. Karena aku sadar, sebagai pedagang Bakso keliling, penghasilan Kakek tidak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi sekarang disaat ada peluang untuk membeli sepeda motor dengan menjual sawah, Kakek tidak mau menjual sawahnya. Kapan lagi peluang seperti ini akan datang? Kesempatan ‘kan jarang datang dua kali. Kapan lagi akan ada orang yang mau membeli sawah disini dengan harga puluhan juta? Kalau tidak menjual sawah, mana mungkin keinginanku untuk membeli motor akan terwujud. Apa aku harus menunggu rizki turun dari langit? Ah, itu mustahil.
Kebutuhan hidup ‘kan bukan hanya makan dan sekolah saja. Sebagai remaja, aku juga ingin mengikuti trend anak muda zaman sekarang. Aku juga butuh hiburan, jalan-jalan, nongkrong, dll. Tapi bagaimana bisa aku melakukan semua itu kalau tidak punya kendaraan sendiri? Apa aku harus nebeng terus sama teman? Yang ada, mereka juga pasti akan bosan kalau aku terus-terusan ngebonceng. Bisa-bisa aku malah dijauhi teman-teman.
Sedihnya aku, saat teman-teman sebayaku jalan-jalan, aku harus membantu Kakek jualan Bakso. Bukannya aku tidak ikhlas, karena ini sudah menjadi kewajibanku. Tapi kalau harus setiap hari, aku juga bosan. Boleh dong sesekali aku hiburan?
“Assalamu’alaikum,” sebuah suara tiba-tiba mengusik lamunanku.
Aku kenal betul suara itu. Pasti Heri, sahabat karibku. Tadi siang dia berjanji padaku akan membujuk Kakek agar mau menjual sawahnya.
“Wa’alaikumussalam!” balas Kakek sambil membuka pintu. Aku sengaja tidak keluar kamar agar Heri bebas ngobrol dengan Kakek.
Setelah berbasa-basi ngobrol tentang banyaknya penduduk kampung yang akan menjual sawahnya, akhirnya Heri mencoba membujuk Kakek.
“Kek! Jual sajalah sawahnya, agar nanti aku sama Teguh sama-sama punya kendaraan sendiri. Kalau punya sepeda motor, ‘kan Kakek bisa diantar pergi kemana pun Kakek suka. Beda dengan sawah, nggak bisa dibawa kemana-mana, panen cuma dua kali setahun. Lebih sedikit nilai manfaatnya, Kek!”
“Benar, Nak Heri! Sawah itu nggak bisa dibawa kemana-mana, jadi sepertinya hanya memberi sedikit manfaat,” ungkap Kakek.
Mungkin Kakek mulai sadar dan berubah pikiran. Gumamku, sambil terus mendengarkan pembicaraan Heri dengan Kakek secara serius dibalik tembok ruang tamu. Aku yakin kali ini Kakek pasti mau menjual sawahnya.
Aku merasa senang sekali. Tidak sia-sia aku punya sobat kayak Heri. Dia paling ngertiin aku, dia juga paling jago dalam hal bujuk-membujuk.
“Tapi, Nak Heri! Sepeda motor ‘kan membutuhkan banyak biaya untuk perawatannya; ganti Oli lah, ongkos bengkel kalau ruksak, minimal isi bensin kalau mau jalan. Sedang sawah ‘kan tidak banyak mengeluarkan biaya. Kalau toh ada pengeluaran untuk beli Bibit dan Pupuk, tapi kita masih bisa berharap uang itu kembali saat panen tiba. Sedang motor sebaliknya, hanya menguras biaya tanpa bisa berharap pemasukan darinya, kecuali kalau di ojekkan. Memangnya Nak Heri mau jadi Tukang Ojek?,” Kakek membeberkan argumentasinya.
Huh… aku kira, Kakek bisa terbujuk oleh Heri. Namun ternyata, Kakek tadi belum selesai bicara. Masih banyak “tapi”-nya. Aku malah keburu senang duluan, ternyata jauh dari harapan.
“Kalau saya sama keluarga, setelah beli sepeda motor akan jalan-jalan, nyobain motor baru. Refreshing, Kek! ‘Kan jenuh diam terus dikampung. Apa Kakek tidak ingin ikutan refreshing bareng kami, Kek?,” Heri memanas-manasi Kakek.
“Kek, Teguh pasti bakal senang kalau ikutan jalan-jalan bareng kami! Apa Kakek tidak ingin melihat cucu Kakek senang?,” Heri masih terus membujuk Kakek.
“Kalau Kakek menjual sawah Kakek, Kakek bakal punya banyak uang. Kakek juga nggak harus capek-capek menggarap sawah lagi. Soal Beras, Kakek nggak usah khawatir. Dikampung tetangga juga masih banyak petani yang mau menjual berasnya sama kita. Jadi Kakek nggak harus takut kelaparan karena nggak ada Beras,” Heri melirik ke arah Kakek yang nampak diam sambil melinting rokok.
“Nanti kita juga bisa bekerja dipabrik itu agar tetap dapat penghasilan tambahan. Aku yakin nantinya konglomerat itu juga pasti membutuhkan banyak karyawan. Tidak ada salahnya ‘kan kalau kita bekerja untuk mereka? Yang penting digajih,” lanjut Heri masih terus membujuk Kakek.
“Tidak! Kakek tidak sudi bekerja untuk mereka, apalagi pada orang asing! Sudah cukup dulu negara kita dijajah oleh orang asing dengan kekerasan. Dan sekarang, Nak Heri akan memberikan peluang pada orang asing untuk menjajah kita dengan cara lembut, dengan mengeruk kekayaan orang-orang kampung? Sebuah tindakan yang bodoh jika kita membiarkan orang asing menguasai sumber penghasilan kita dan kita bekerja untuk mereka, itu sama saja dengan membunuh diri sendiri secara pelan-pelan!” Kakek nampak begitu emosi, suaranya mulai meninggi.
Aku mengintip Kakek dan Heri dibalik Hordeng Pintu yang menuju ruang tamu. Heri nampak kaget, mukanya memucat. Aku betul-betul dibuat bingung dengan pendirian Kakek yang tak tergoyahkan. Kakek malah ngomongin masalah penjajahan. Negara Indonesia ‘kan sudah lama merdeka.
Meski Heri sudah berbicara panjang-lebar untuk membujuk Kakek agar mau menjual sawahnya, tapi ternyata gagal. Kakek benar-benar nggak mau ngertiin keinginan anak muda.
“Nak Heri ‘kan sekolah. Disekolah pasti belajar sejarah bangsa kita dari mulai penjajahan hingga merdeka, ‘kan? Guru Sejarah Nak Heri pasti mengajarkan bahwa belajar sejarah bukan hanya untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan Kemerdekaan bangsa ini, tapi menjadi bahan evaluasi agar kesalahan dimasa lalu tidak terulang kembali,” Kakek kembali memberi alasan.
Aku jadi makin bingung dengan Kakek. Dari mana Kakek belajar tentang sejarah? Sedang Kakek mengenyam pendidikan SD saja tidak pernah.
“Jika kita membiarkan konglomerat asing itu menguasai sumber penghasilan kita, berarti kita terus-terusan melakukan kesalahan. Apa Nak Heri mau kalau anak-cucu kita nanti kelaparan karena kehilangan sumber penghasilan? Pokoknya, Kakek tetap tidak akan menjual sawah milik Kakek!”
Rupanya Kakek sudah sampai pada keputusan final. Meski Heri sudah membujuk Kakek dengan berbagai iming-iming, tapi Kakek tetap tidak bergeming. Heri pun akhirnya berpamitan kepada Kakek.
***
Otakku rasanya panas, membuatku susah tidur. Jam Weker dikamarku telah menunjukkan pukul 21.45. Mataku masih sulit untuk kupejamkan meski sudah satu jam lalu aku merebahkan diri ditempat tidur. Lampu kamar pun sudah kumatikan agar bisa lekas tidur, tapi mata ini masih belum mengantuk.
Aku beranjak dari tempat tidur untuk menyalakan lampu kembali. Kubuka jendela kamar. Mungkin lebih baik aku menikmati angin malam untuk mendinginkan otakku. Percuma memaksakan diri untuk tidur kalau otakku masih panas. Aku butuh ketenangan.
Lampu-lampu dirumah tetangga nampak masih menyala. Sayup-sayup mulai terdengar ditelingaku suara orang ngobrol dari tetangga sebelah. Rupanya mereka belum tidur. Beberapa orang sedang berkumpul dirumah Pak Rudi. Kadang terdengar suara tawa renyah dari mereka.
“Kalau uang dari hasil menjual sawah sudah cair, saya mau beli TV baru sama Kulkas, biar nggak nebeng nonton terus dirumah tetangga. Terus istriku bisa menyimpan sayuran di Kulkas, jadi nggak harus belanja sayuran setiap hari,” ungkap salah seorang laki-laki yang sedang turut berkumpul dirumah Pak Rudi.
“Kalau saya sih pengen beli mesin cuci, biar nggak pegel nyuci baju. Dan biar kelihatan lebih gaya! Kayak orang-orang kaya yang ada di TV ntu!“ kata yang lain penuh semangat.
Rupanya mereka sedang merangkai mimpi dengan uang hasil penjualan sawah. Duh, otakku jadi semakin panas nih. Aku juga ingin seperti mereka, bisa membeli apa yang diinginkan. Tapi apa daya, rasanya tidak mungkin. Yang ada, kepalaku kini malah jadi terasa jangar. Kejadian tadi siang terus teringat-ingat.
Selain tidak mau menjual sawahnya, Kakek juga sempat melarang konglomerat asing itu membangun Pabrik Tekstil diatas lahan sawah penduduk kampung kami. Tentu saja konglomerat asing itu tidak mau menggubris penolakkan Kakek yang sudah tua dan tidak punya pendukung. Sedang konglomerat asing itu kabarnya sudah mengantongi izin dari pemerintah setempat. Kakekku ini malu-maluin aja!
Tapi bukan Teguh namanya, kalau tidak bisa menemukan ide untuk membuat Kakek mau menjual sawahnya.
Aku berpikir sejenak. Dua-tiga menit.
Aha! Akhirnya aku menemukan ide!
Yah, aku harus minggat dari rumah ini! Ini cara terakhir untuk meluluhkan kerasnya hati Kakek. Dengan aku minggat, kali aja Kakek berubah pikiran untuk menjual sawahnya. Mumpung masih ada waktu. Rencananya dua minggu lagi para petani baru akan melakukan transaksi jual-beli sawah mereka dengan konglomerat asing itu. Aku putuskan, besok aku akan pergi dari rumah ini. Ah tidak! Sekarang juga aku harus pergi.
***
Seminggu sudah aku berada dirumah Bibiku. Selama aku tinggal dirumah Bibi, belum pernah sekalipun aku memakan Nasi yang kualitasnya bagus, setidaknya tingkat menengah atau sedang. Nasinya selalu saja bau apek, tidak pulen, warnanya agak ke kuning-kuningan. Membuat selera makanku berkurang. Berbeda dengan nasi yang biasa aku makan bersama Kakek dirumah. Nasinya pulen, berwarna putih dan wangi. Meski makannya hanya dengan Tahu-Tempe, tapi aku selalu semangat memakannya. Mmm… aku jadi kangen dengan Nasi dirumah Kakek.
“Maaf ya, Guh, tiap hari makannya gini-gini aja. Bibi tidak bisa menjamu-mu dengan baik, padahal kamu jarang kesini. Sekalinya datang makannya begini,” kata Bibi sambil mengambilkan Nasi untukku saat makan bersama keluarga.
Bibi memang tidak tahu kalau aku minggat dari rumah, yang Bibi tahu, aku hanya ingin bersilaturahmi saja.
“Inginnya Bibi tuh bisa membuatkan makanan spesial buatmu, Guh, mumpung kamu lagi main ke sini. Tapi Bibi tidak punya uang untuk membeli bahan-bahannya. Sejak paman jadi pengangguran, keadaan ekonomi keluarga kami jadi serba susah. Masih bisa membeli beras saja kami sangat bersyukur, meski berasnya tidak bagus. Itupun sangat sulit mendapatkannya. Maklum, akhir-akhir ini lahan pertanian semakin berkurang,” Bibi nampak sedih.
“Bukannya Bibi sama Paman punya sawah yang cukup luas? Kenapa harus beli Beras?,” tanyaku penasaran.
“Ceritanya panjang, Guh!”
Perkataan yang menggantung membuatku semakin penasaran.
“Kenapa sekarang Paman nggak kerja, Bi? Bukannya dulu Paman menggarap sawah? Padinya ‘kan bisa dijual. Setahuku, hasil panen dari sawah Paman lumayan, lebih dari cukup untuk sekedar makan kalian berdua. Selain itu, Paman juga ‘kan punya Ternak Ikan di empang. Memangnya Paman sudah tidak menggarap sawah dan mengurus empang lagi?,” tanyaku bertubi-tubi.
“Selesai makan, Bibi ceritakan semuanya,” kata Bibi singkat.
Aku semakin penasaran. Segera kuhabiskan Nasi yang sebenarnya tidak mengundang selera ini. Karena bagaimana pun aku harus menghormati orang yang sudah bersusah-payah menanak Nasi dan menyuguhkannya padaku.
Selesai makan, Bibi mengajakku pergi. Sepanjang jalan aku melihat beberapa ibu tetangga Bibi. Mereka sedang menyuapi anak-anaknya yang masih kecil-kecil sambil kumpul-kumpul dan ngobrol-ngobrol. Entah ngobrol tentang apa. Saat aku melirik ke Piring yang mereka pegang, ternyata Nasinya sama persis dengan Nasi yang barusan aku makan dirumah Bibi. Bahkan lebih parah lagi, tidak nampak ada lauk-pauk dipiring mereka. Kata Bibi, mereka tidak mampu membeli lauk-pauknya. Sebuah pemandangan yang menyedihkan!
Bibi membawaku ke sebuah bangunan yang besar, seperti sebuah pabrik. Rasa-rasanya tempat ini tidak asing bagiku. Apa aku pernah ke sini? Tapi kalau tidak salah, dulu tidak seperti ini. Aku mencoba mengingat-ingat, mengundang memoriku dimasa lalu.
“Ini sawah dan empang Bibi. Kini telah berubah menjadi seperti ini,” Bibi mengawali ceritanya.
Pantas saja aku merasa tidak asing dengan tempat ini. Sudah sepuluh tahun aku tidak berkunjung ke kampung Bibi ini. Terakhir ke sini saat SD. Dulu aku sering main di empang punya Bibi untuk menangkap Ikan atau berburu Belut disawah. Tapi tempat penuh kenangan itu kini telah berubah. Kemana empang Bibi? Kemana sawah-sawah itu?
Belum sempat pertanyaan-pertanyaan itu aku ungkapkan, Bibi kembali menyambung ceritanya. “Sudah lima tahun Pabrik Tekstil ini berdiri. Bibi, Paman dan semua warga kampung sini sudah melakukan suatu kebodohan. Kami menjual sawah-sawah kami kepada pemilik Pabrik Tekstil tersebut.
“Dulu kami tergiur dengan harga yang ditawarkan. Mereka membeli empang dan sawah Bibi yang begitu luas hanya dengan harga 15 juta. Dulu Paman dan Bibi mengira uang itu besar sekali nilainya dibanding dengan empang dan sawah yang kami miliki. Begitu pun dengan warga lain yang memiliki sawah didaerah sini. Mungkin karena jarangnya kami memiliki uang sebanyak itu. Tanpa pikir panjang, kami pun langsung menjual sawah kami,” Bibi berhenti sejenak. Tarikan napasnya panjang, seolah ingin membuang duka didadanya.
“Dulu semua warga kampung ikut bekerja di Pabrik Tekstil ini, termasuk Paman dan Bibi. Tapi upahnya kecil, tidak sebanding dengan kerja keras kami seharian. Uang itu tidak mencukupi untuk kebutuhan kami sehari-hari. Akhirnya Paman dan Bibi berhenti bekerja dipabrik dan mencoba mencari pekerjaan lain. Tapi sampai sekarang belum dapat juga. Uang hasil penjualan sawah dan empang pun perlahan habis untuk makan kami sehari-hari.
“Kini kami sadar, rupanya uang yang dulu kami terima, tidak ada apa-apanya dibanding dengan hasil panen yang biasa kami dapatkan. Selain dapat kami manfaatkan untuk makan kami sehari-hari, jika hasil panen berlebih, kami juga bisa menjualnya ke orang lain. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh orang banyak.
“Dua tahun terakhir, kami kekurangan bahan makanan karena tidak ada lahan lagi untuk bertani. Awalnya kami masih bisa membeli Beras dari kampung sebelah. Tapi lama-kelamaan mereka pun kena imbasnya. Sejak pabrik ini beroprasi, sawah- sawah yang ada dikampung sebelah selalu gagal panen karena terkena limbah pabrik.
“Zat kimia dari limbah pabrik tersebut membuat padi-padi tidak tumbuh dengan baik. Akhirnya, daripada tidak makan, kami terpaksa membeli Beras yang kualitasnya sangat buruk, seperti yang tadi kamu makan. Kami tidak mampu membeli Beras yang berkualitas bagus.
“Kalau saja dulu kami tidak menjual sawah-sawah kami, mungkin kami tidak akan kekurangan bahan makanan seperti sekarang. Waktu kami masih memiliki sawah, hidup kami makmur. Tidak pernah menderita seperti ini.
“Meski kami sedang tidak punya uang sepeser pun, dulu kami masih tetap bisa makan dengan Beras yang berkualitas bagus. Tentu saja dari hasil panen sawah-sawah yang kami miliki,” panjang-lebar Bibi menceritakan awal tragedi kampungnya.
Kulirik Bibi, dari raut wajahnya terpancar penyesalan dan kekecewaan yang mendalam.
“Apa warga kampung sini dan juga warga kampung sebelah tidak ada yang menuntut Pihak Pabrik untuk bertanggung-jawab terhadap limbah yang mencemari sawah-sawah mereka?,” tanyaku ikut prihatin.
“Kami bahkan sudah beberapa kali berunjuk rasa, namun tidak pernah ada tanggapan positif dari Pihak Pabrik. Mereka hanya berjanji untuk segera menangani limbah tersebut, tapi sampai sekarang belum ada tindakan apa-apa.”
Aku geram mendengarnya. Tega sekali mereka, membiarkan banyak orang menderita.
“Bi! Siapa sih pemilik Pabrik Tekstil ini!?,” tanyaku kesal.
“Orang asing,” jawab Bibi pelan.
“Orang Asing!!!??,” seruku kaget. Aku bagaikan disambar petir di siang bolong.
Betapa tidak, Orang yang hendak membeli sawah-sawah dikampungku juga seorang konglomerat asing. Rencananya mereka pun akan membangun Pabrik Tekstil di atas sawah-sawah itu. Cerita Bibi ini sungguh membuka mataku lebar-lebar. Selama ini aku memaksa Kakek agar mau menjual sawahnya. Demi mewujudkan keinginanku, demi memuaskan hatiku, demi kesenangan sementara, tanpa berfikir jauh dampak negatifnya beberapa tahun ke depan.
Benar kata Kakek, dengan membiarkan orang-orang asing menguasai sumber penghasilan kita, berarti kita telah memberi peluang pada orang-orang asing untuk menjajah kita. Apa ini salah satu penyebab banyaknya warga negara Indonesia yang kelaparan, menderita busung lapar?
Andaikan semua orang seperti Kakek, berusaha mempertahankan sumber penghasilannya--entah itu sawah atau apapun--mungkin kasus-kasus kelaparan di Indonesia bisa sedikit terkurangi. Meski yang dipertahankannya hanya sedikit, tapi jika jumlah orang yang mempertahankannya banyak, maka hasilnya pun pasti banyak.
Pengalaman warga kampung Bibi benar-benar menyadarkanku. Aku harus pulang untuk mencegah warga kampungku agar mereka tidak menjual sawah-sawahnya--karena sawah adalah kekayaan yang harus dilestarikan, bukan untuk dihilangkan--sebelum semuanya terlambat, mumpung masih ada waktu satu minggu lagi untuk melobi mereka. Aku tidak ingin warga kampungku sampai mengalami kehidupan tragis seperti Bibi dan orang-orang sekampungnya.
Aku pun langsung berpamitan pada Bibi. Tentu saja Bibi jadi bingung karena aku mendadak pamit pulang. Biar nanti sajalah aku menjelaskan semuanya pada Bibi. Secepatnya aku harus pulang, aku tidak boleh membuang waktuku. Apalagi perjalanan menuju rumahku butuh waktu sekitar tiga jam.
Dengan semangat aku berlari menuju Terminal Bus. Bibi terus memandangiku. Ia nampak bingung.
Di terminal Bus, aku melihat seorang Kakek-Kakek, sosoknya serasa tidak asing. Ku perhatikan Kakek-Kakek itu. Lalu kupertajam pandanganku. “Masya Allah…Kakek!” batinku.
Aku langsung berlari menghampiri orang yang selama ini merawat dan membesarkanku setelah kedua orangtuaku meninggal. Aku merangkul tubuh yang mulai tua itu dengan segudang rasa bersalah.
“Teguh…” suara Kakek terdengar lirih. “Kakek sudah mengira kalau kamu pasti di sini, dikampung Bibimu.”
“Maafkan aku, Kek! Aku tidak akan memaksa Kakek lagi untuk menjual sawah kita.”
“Justru Kakek datang kesini mau ngasih kabar bagus buatmu.”
“Kabar bagus?,” tanyaku dalam hati.
“Keinginanmu untuk memiliki sepeda motor akan segera terwujud. Kakek bersedia menjual sawah kita. Kakek tidak tega membiarkanmu terus memimpikan motor tanpa tahu kapan akan benar-benar memilikinya. Ayo kita pulang, Nak! Mumpung konglomerat asing itu masih ada dikampung kita.”
Seperti biasa, kalau aku sudah minggat, Kakek selalu menuruti keinginanku. Tapi kali ini aku sendiri yang harus menepiskan keinginanku itu.
“Kakek tidak usah menjual sawah kita!” cegahku.
“Loh, kenapa?,” tanya Kakek seperti heran dengan keputusanku. “Para petani dikampung kita juga sudah menjual sawah-sawahnya tadi pagi. Tinggal kita. Bahkan uangnya sudah mereka terima. Mungkin sekarang sudah dibelanjakan.”
“Benarkah!?,” mataku terbelalak. Seketika badanku lemas. Aku benar-benar terkejut. Refleks aku langsung terduduk. “Bukannya mereka baru akan melakukan transaksi jual-belinya minggu depan?”
“Yang Kakek dengar, katanya pembangunan pabriknya mau diajukan karena harus selesai tahun ini. Mangkanya konglomerat itu cepat-cepat membeli sawah-sawahnya.”
“Padahal tadinya aku akan mencegah warga kampung kita agar tidak menjual sawah-sawahnya,” ucapku kecewa. “Apa yang dulu Kakek katakan semua benar. Aku baru faham, Kek. Maafkan aku, Kek!”
“Syukurlah jika kamu sudah mengerti.”
“Berarti aku terlambat untuk mempertahankan sawah-sawah milik warga, Kek?,” aku semakin kecewa dan merasa bersalah.
“Tidak ada kata terlambat! Kita masih bisa mempertahankan sawah kita. Bahkan tidak hanya mempertahankan sawah-sawah yang masih ada, tapi kamu harus bisa mengembangkannya!” kakek mengajakku berdiri dan memberi semangat.
Tapi bagaimana pun aku tetap merasa bersalah dan kecewa pada diriku sendiri. Bagaimana nasib warga kampungku kelak? Akankah seperti warga dikampung Bibiku?
***
Cerpen ini ditulis, atas rasa prihatinku terhadap lahan-lahan pertanian yang kian hari kian menghilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H