Oleh : Noer Syahbani , Eufrasia Elaine Rosalie , Ivone Wulandari B, Lalita Hanief
Fenomena pemanasan global, yang kian mengancam keseimbangan iklim di Bumi, mengajak kita merenung dari sudut pandang filsafat sains tentang bagaimana manusia memahami alam dan peran mereka dalam sistem ekosistem yang lebih besar. Meningkatnya suhu global, penipisan lapisan ozon, dan dampak langsung lainnya yang dihasilkan dari tindakan manusia menunjukkan bahwa pemanfaatan pengetahuan ilmiah seringkali mengabaikan dampaknya pada kelestarian Bumi. Pendekatan ini menuntut peninjauan ulang, yang dalam filsafat sains dapat kita lihat sebagai titik di mana perkembangan ilmu pengetahuan seharusnya diarahkan untuk kesejahteraan bersama, bukan sekadar memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas.
Mengulas kembali sejarah Bumi sejak awal penciptaan kehidupan, dari bentuk sel tunggal hingga kompleksitas ekosistem saat ini, menunjukkan adanya keteraturan alami yang seimbang. Teori "Sup Purba" oleh Oparin, yang menggambarkan terbentuknya molekul-molekul organik sebagai dasar kehidupan, mengingatkan kita bahwa kehidupan dan keteraturan di alam telah berkembang melalui proses alami, tanpa campur tangan manusia. Konsep ini sejalan dengan gagasan bahwa manusia bukanlah pusat dari alam semesta melainkan bagian dari sistem alam yang harus dihormati.
Kondisi purba Bumi yang ekstrem, dengan radiasi UV tinggi dan panas yang tidak bersahabat, membuka wawasan bagi manusia untuk memahami bahwa kehidupan muncul bukan dari lingkungan yang ramah, tetapi justru dari perjuangan untuk beradaptasi. Evolusi organisme purba yang beradaptasi dengan lingkungan hidrotermal laut dalam adalah contoh resilien yang luar biasa, yang patut dijadikan inspirasi bagi manusia modern.
Penemuan mengenai mikroorganisme termofilik yang berasosiasi dengan sistem hidrotermal dalam menyimpan dan memanfaatkan energi menunjukkan bahwa kerja sama dalam sistem alam telah berlangsung jauh sebelum manusia hadir. Melalui pemikiran Thomas Kuhn mengenai perubahan paradigma, mengajarkan kita bahwa evolusi sains bukan hanya terjadi melalui persaingan gagasan, tetapi juga dari kolaborasi yang memajukan pemahaman bersama. Interaksi mikroba dengan lingkungan ekstrim juga menyadarkan kita bahwa sains dapat memanfaatkan alam tanpa harus merusaknya, asalkan prinsip keseimbangan tetap dijaga.
Sejarah evolusi juga menyajikan endosimbiosis sebagai kunci dalam pembentukan sel eukariot yang kompleks. Proses ini, di mana satu organisme hidup dalam sel inang, menunjukkan pentingnya simbiosis sebagai prinsip dasar dalam perkembangan kehidupan. Relasi mutualistik, seperti yang ditemukan pada hubungan mikoriza antara jamur dan tanaman, memberikan pandangan bahwa evolusi tidak hanya didorong oleh seleksi alam yang bersifat kompetitif, tetapi juga oleh koeksistensi yang saling mendukung. Melalui paradigma ini, kita melihat bahwa keterkaitan dalam ekosistem adalah cerminan dari pandangan holistik yang menganggap alam sebagai satu kesatuan yang saling bergantung. Filsafat sains mengajarkan bahwa, sebagai bagian dari ekosistem, manusia harus memahami bahwa hidup berdampingan dengan alam bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan untuk menjaga keberlanjutan.
Manusia yang baru muncul dalam hitungan "detik" dalam sejarah Bumi, kerap lupa bahwa Bumi telah bertahan dalam keseimbangan yang harmonis selama miliaran tahun. Mikroorganisme telah ada jauh sebelum manusia dan berhasil mempertahankan ekosistem tanpa merusak alam. Dalam filsafat sains, ini menandakan bahwa kehadiran manusia harusnya membawa perbaikan, bukan kerusakan. Sejarah ini juga menunjukkan bahwa meski teknologi memudahkan kehidupan manusia, perubahan yang dihasilkan tetap harus memperhatikan keberlanjutan.
Terakhir, revolusi ilmiah yang melahirkan sains modern telah memberikan manusia kekuatan besar dalam memahami dan mengendalikan alam. Namun, filsafat sains menyatakan bahwa pengetahuan bukan sekadar kekuasaan, melainkan juga tanggung jawab untuk memanfaatkannya secara bijaksana. Jika manusia tidak segera merefleksikan tindakan mereka terhadap alam, seperti yang ditunjukkan dalam krisis ozon, kerusakan yang terjadi mungkin akan sulit diperbaiki. Filsafat sains menuntut manusia untuk kembali menyeimbangkan hasrat mereka dengan kelestarian Bumi, mengingat bahwa ilmu pengetahuan yang sejati harus berpihak pada kebaikan seluruh ekosistem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H