Lihat ke Halaman Asli

yesica

Dokter

Tangerang Kota Seribu Kenangan

Diperbarui: 8 November 2023   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

       Kota Seribu Kenangan adalah sebutan yang terlintas dibenakku saat mendengan kata Tangerang. Terletak di provinsi Banten dengan jumlah penduduk yang banyak, kota Tangerang ternyata memiliki suku Sunda sebagai suku aslinya, namun saat ini lebih populer dengan sebutan kota Benteng dengan banyaknya populasi penduduk Cina Benteng yang menetap di kota Benteng. Berjuta keinginan hatiku untuk menyapa segala keindahan dalam perbedaan di setiap 13 kecamatannya. Sudah kubayangkan warna-warni kehidupan yang menyejukkan dalam 104 kelurahannya. “Tangerang itu unik asalkan kita tertarik”, itulah kalimat yang selalu terlintas dibenakku saat membaca 1.000 halaman kehidupan kota Tangerang yang tak akan pernah berhenti untuk menuliskan memori. Aku akan selalu menelusuri setiap kisah dibaliknya dan aku terhenti di sebuah tumpukan halaman yang mengisahkan sungai Cisadane. Bagaimana mungkin masyarakat tidak mengenalmu? Terbentang luas dan menjadi ikon kota Tangerang yang selalu memiliki cerita di setiap tahunnya dan di sanalah akhirnya aku menyaksikan sebuah festival Peh Cun yang ternyata sudah dilakukan bertahun-tahun secara turun-temurun.

       Perlahan aku melangkah kembali dengan suara kicauan burung seolah-olah sedang mengiringi pagi, sesaat pandanganku lindap kepada matahari pagi yang mulai terhalang oleh pepohonan itu dan sampailah aku pada titik kedua perjalanan kisahku. “Inilah tempat yang menyimpan banyak rahasia dan cerita di dalamnya”, ujar ayahku. Aku mengamati setiap titik yang kulewati saat itu hingga suatu ketika aku tertarik pada suatu bangunan vihara yang bernuansa merah dan pada akhirnya memberi memori sejarah yang berkesan kepadaku.

       Kota Tangerang seakan-akan memberi kenangan manis kepadaku ketika ayah dan ibuku selalu memberikan sambutan hangat di saat aku pulang sekolah. Mereka selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku selalu ingin bercerita tentang keseharianku di sekolah. “Menurutku, sekolah adalah rumah keduaku”, perkataan itu spontan terucap dari hatiku. Namun, di saat itulah aku pun berfikir tentang masa-masa SMP yang akan segera berakhir dengan kumpulan cerita-cerita suka dan duka. Sulit rasanya untuk membuka halaman baru dari sebuah buku putih abu-abu bersama mereka yang baru.

       Tentu saja kota Benteng ini telah memberikan banyak pengalaman baru kepadaku. Kisahku seakan menjadi lembaran baru saat pertama kalinya aku melihat 12 wajah asing dihadapanku. Kami tidak saling berbicara sampai akhirnya dipertemukan untuk saling menyapa. Begitulah sebagian kisahku sebagai langkah awal untuk menjadi Duta Anak Kota Tangerang yang berhasil membuatku untuk mencatat memori penting selama petualanganku di kota Tangerang. Kisah ini akhirnya membawaku untuk semakin mengenal Pusat Pemerintahan Kota Tangerang yang telah mempersatukan 13 orang hebat kala itu.

       Rasa penasaranku tidak akan pernah hilang sampai aku menemukan semua rahasianya. “apa yang kamu lihat dengan mata yang berbinar itu?”, aku terkejut dengan ucapan teman di sampingku kala itu. Kembali aku menetap sebuah bangunan megah dengan corak yang indah di depan mataku dan seketika aku teringat akan cerita ibuku, itulah dia masjid Al-a'zhom yang menjadi masjid terbesar di kota Tangerang. Perlahan aku mendekat dengan tatapan penuh tanya, rasanya ingin sekali aku membuka sejarahnya. Dengan hembusan angin di sore hari dan senja yang menyinariku kala itu, aku termenung sejenak sambil menuliskan kata demi kata di dalam buku ceritaku. “Dunia memang memiliki 7 keajaiban, tetapi aku tidak perlu jauh-jauh untuk mencarinya karena bagiku merasakan keindahan di kota Tangerang sudah menjadi keajaiban di dalam hidupku.” Bukan mimpi dan ini adalah kenyataan yang mungkin akan aku lihat selama 20 tahun ke depan.

       Sekali lagi aku melangkah dan menatap alam di sekitarku. Aku berdiri di atas jembatan kaca dengan bisingnya suara kendaraan. Tiba-tiba saja aku ingin bercerita di atas aliran sungai yang mengalir, dari sanalah aku bisa melihat padatnya kendaraan. Terlintas dalam benakku untuk bertanya kepada mereka yang sedang melintas tentang segala kenangan yang pernah mereka alami di kota Benteng ini. Matahari senja dikala itu seolah memberi jawaban atas pertanyaanku, “kalau kamu sudah menjalani sebagian kisah dari hidupmu, lihatlah mereka yang telah merasakan 1000 lebihnya dari kisah hidupmu.” Sejenak aku duduk diam memandangi sekitarku.

       Dari 1.000 halaman yang pernah kubaca, dari 1.000 orang yang pernah ku jumpai, dari 1.000 tujuan yang pernah kulalui ternyata semuanya hanyalah sebagian dari kisahku di kota Kenangan ini. Terkadang rasa kagumku selalu terasa nyata seiring berjalannya waktu. Aku sudah berjanji untuk menjadi pribadi yang tangguh, bukan seperti aku yang dulu, mudah untuk dijatuhi mereka. Aku kembali mendekat pada hembusan angin yang membawa 1.000 kenangan itu terbang. Ya, aku melihat mereka teman lamaku, jauh sebelum bertemu mereka yang baru. Sejak dulu, aku tidak pernah menyadari bahwa mereka telah menjadi tokoh di dalam buku ceritaku, kisah itu terjadi begitu saja. Kota Tangerang ternyata adalah tempat di mana aku tertawa dan meneteskan air mata. Aku menetap sekeliling dan mencari mereka yang dulu telah menjadi kertas putih yang kulukis dengan tawa.

       Hujan seketika turun membasahi tubuhku, aku bukan anak yang takut akan hujan. Aku berdiri dan memeluk erat buku ceritaku. Suara langkah kaki semakin terdengar dari mereka yang berlarian menghindari hujan. Aku kembali bercerita pada bukuku bahwa ini adalah hujan untuk kesekian kalinya di mana aku merasakan kehadiran mereka yang membawaku menari di tengah hujan. Tanpa sadar, air mataku mengalir diiringi dengan tawa yang menenangkan suasana hatiku. Aku teringat saat mereka membawaku untuk berkeliling Pasar Lama untuk sekedar menghibur hatiku yang sedang gundah, mereka menggandeng tanganku dan bersama kami pergi ke festival Peh Cun di sungai Cisadane. Setiap kali aku mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu, aku selalu teringat pada mereka. Tidak hanya sejarah yang kurasakan di sana, tetapi kehangatan mereka sebagai penyemangatku dalam segala kondisi, “akan kupenuhi kota ini dengan 1.000 jejak kenangan mereka yang selalu menemani.” Tidak terasa hujan sudah mulai mereda, sekumpulan remaja tertawa riang dengan seragam putih abu berlari tanpa alas kaki, aku hanya memandanginya dengan penuh harapan, “apakah masa-masa SMA ku nanti akan sama cerianya seperti mereka?” Akan kukosongkan sebagian halaman buku ini untuk cerita SMA ku di kota Tangerang, perlahan kututup buku ini dan selalu berharap dapat kubuka 1 tahun setelah hari ini.

       Matahari menyinari pagiku yang baru, mataku terbuka dan perlahan menyadari apa yang baru saja terjadi, tetapi aku bisa merasakan sisa air mata di wajahku. “Ayo bangun, ini hari Senin, nanti terlambat.” Ternyata itu adalah ibuku yang berdiri sambil tersenyum di sampingku. Aku segera sarapan dan bersiap-siap untuk pergi sekolah. Ayahku sudah menanti di depan gerbang untuk mengantarku bersekolah. Selama perjalanan, aku masih mencoba menyadari apa yang sebenarnya terjadi, “biarkan buku ini tersimpan di dalam lemariku, akan kuisi 1.000 halaman ini dengan kisahku di Kota Seribu Kenangan.” Semua itu pada akhirnya akan menjadi kenangan yang tidak akan bisa terulang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline