Lihat ke Halaman Asli

Pemekaran Papua: Politik Pecah Belah yang Menyengsarakan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melihat pemekaran di tanah Papua sebagai ”Politik Neo-Devide et Impera” tidak lengkap apabila tidak dijelaskan dahulu proses lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Karena, pemekaran di tanah Papua justru muncul seperti jamur di musim hujan di era Otonomi Khusus sebagai satu bentuk perlawanan Jakarta atas UU Otsus yang dinilai berpotensi mengancam NKRI, yang dianggap Jakarta harga mati.

Gejolak reformasi awal tahun 1998 di Indonesia membawa banyak perubahan (lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, pada 23 Mei 1998). Salah satu perubahan dari gejolak reformasi itu adalah terjadinya gejolak sosial dan politik yang luar biasa di Papua. Antara lain, rakyat Papua menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM, peninjauan ulang pelaksanaan PEPERA 1969 sampai pada tuntutan penentuan nasib sendiri. Selanjutnya, antara tahun 1998-2001 situasi sosial politik Papua Barat terus mengalami perkembangan hingga tahun 2000. Dalam keadaan sosial politik Papua yang terus memanas itulah Jacobus Perviddya Solossa dan Constant Karma dipilih DPRD dan dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua oleh Menteri Dalam Negeri, Soerjadi Soedirdja, pada 23 November 2000 di Gedung Sasana Krida Kantor Gubernur Dok 2 Jayapura. Segudang permasalahan di Papua, mulai kecenderungan konflik horizontal, pemekaran wilayah Papua yang ditolak masyarakat, peningkatan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, adalah persoalan akut yang terjadi waktu itu. Semua persoalan itu menjadi alasan tambahan atas keinginan rakyat Papua untuk merdeka yang telah lama ada. Berbagai permasalahan ini menyita waktu, tenaga dan pikiran Gubernur J.P. Solossa dan Wakil Gubernur Constant Karma.

Dalam kondisi itulah Solossa–Karma membentuk sebuah tim kecil yang kemudian menjadi Tim Asistensi Otonomi Khusus (Otsus) Papua di Jakarta akhir Desember 2000. Tim Asistensi yang beranggotakan kaum intelektual Papua dari akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu dipimpin Frans A. Wospakrik. Mereka melakukan penjaringan aspirasi rakyat ke seluruh Kabupaten dan Kota di tanah Papua yang hasilnya diseminarkan di Gedung Olahraga Cenderawasih Jayapura, pada 28–29 Maret 2000. Hasil penjaringan aspirasi rakyat itu digunakan untuk pembuatan draft Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Namun, draf UU Otsu itu mengalami tantangan (pro-kontra). Tantangan itu bukan saja datang dari rakyat Papua, tetapi juga dari Jakarta. Para elite politik di Jakarta sangat berhati-hati dan mencurigai rencana penerapan Otsus di Papua. Akibatnya, proses pembahasan draft UU menjadi UU Otsus berjalan sangat alot. Mereka (Jakarta) khawatir akan mempercepat Papua berpisah – merdeka dari Indonesia.

Dalam keadaan pro-kontra itu, Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay diculik di kawasan Skyline, Entrop dan dibunuh oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada 10 November 2001 di Koya–dekat perbatasan wilayah Republik Indonesia dan Papua New Guinea. Sepuluh hari kemudian, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada 21 November 2001 di Jakarta.

Sebagaimana yang tertera dalam konsideran Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus menyebutkan dan mengakui 3 (tiga) hal pokok penyebab lahirnya Undang-Undang Otsus. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno yang hadir dalam sidang paripurna DPR RI pengesahan RUU menjadi UU Otsus pada 20 November 2001 mengatakan RUU tersebut sebagai pemecahan masalah yang paling komprehensif bagi Papua.

Akhirnya, UU Otsus No. 21/2001 diterapkan secara resmi di Papua pada 1 Januari 2002. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua lahir sebagai suatu produk sejarah, melewati suatu proses sejarah yang panjang. Ia lahir dalam konteks dinamika sosial politik dan keamanan dari Negara Kebangsaan (Nation State) Indonesia. Ia lahir dalam konteks penegakan hukum, HAM dan demokrasi. Undang-Undang ini juga lahir sebagai upaya penyelesaian konflik. Sebagai jalan keluar untuk menciptakan Win-Win Situation antara rakyat Papua yang ingin merdeka dan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pemerintah RI yang tetap kokoh teguh mempertahankan integritas dan kedaulatan.

Undang-Undang Otsus juga sekaligus membuka ruang bagi perbaikan untuk masa depan yang lebih baik, belajar dari kesalahan masa lampau agar supaya kita tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Dengan demikian Undang-Undang ini membuka ruang untuk perbaikan dalam rangka memperjuangkan perbaikan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, persamaan hak, dan untuk mengembangkan jati diri, harga diri serta harkat dan martabat sebagai manusia.

Sebagai rasa syukur atas pelaksanaan Otsus selama setahun di Papua, Presiden Megawati Soekarnoputri datang merayakan Natal bersama seluruh rakyat dan pejabat pemerintah Provinsi Papua pada 26 Desember 2002 di Gedung Olahraga Cenderawasih Jayapura, sekaligus penandatanganan persetujuan pengelolaan gas – Liguid Natural Gas (LNG) Tangguh di Bintuni di Gedung Negara Jayapura.

Namun, kegembiraan Natal 2002 itu tak bertahan lama. Satu bulan kemudian, Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan pemekaran wilayah, pada 27 Januari 2003 . Intruksi yang bertentangan dengan semangat Otsus.

Otsus Versus Pemekaran
Saat Tim Asistensi Otsus yang beranggotakan kaum intelektual Papua dari akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersusah payah meyakinkan rakyat Papua tentang Otsus, Jakarta memproduksi sebuah peraturan yang berbenturan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 lahir tanpa dasar hukum yang jelas. Lantas, dalam UU No 45/1999 mengisyaratkan pemekaran dan UU No 21/2001 tidak menyebutkan masalah pemekaran (baca: Jawa Pos, 17 Oktober 2005). Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hal ini merupakan keputusan “banci”. Satu pihak menyatakan UU 45/1999 batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD 1945, tetapi di lain pihak tetap mengakui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 yang memekarkan Irian Jaya Barat (Sinar Harapan, 29 November 2005).

Untuk melegalkan pemekaran Irian Jaya Barat yang sebenarnya batal demi hukum, awal 2007, Jakarta berupaya merevisi UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Kompas, 15 Februari 2007). Rencana merevisi UU No 21/2001 tentang Otsus Papua itu lebih mengemuka setelah adanya wacana pemekaran Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Selatan dan Papua Bagaian Barat Daya serta lima wilayah kabupaten baru (Kompas, 15 Februari 2007).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline