Lihat ke Halaman Asli

Komunikasi dan Pengembangan Kepribadian

Diperbarui: 28 Januari 2016   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Komunikasi”, karya Jalaluddin Rakhmat (2009:1-2), dikisahkan pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Sepanjang saat ia tidak henti-hentinya meludah. Tidak satu pun terdengar bicara.

Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie, demikian nama samaran gadis tersebut, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecil ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya. Seringkali ia kelaparan. Tetapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya. Akhirnya, kakak laki-laki Genielah yang memberi makan dan minum. Itu pun sesuai perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakaknya dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut pada ayahnya.   

Ketika Genie masuk rumah sakit, ia tidak diketahui apakah dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia satu tahun. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, linguis, neurolog, dan mereka yang mempelajari perkembangan otak manusia. Buku tersebut menjadi penting buat kita bahwa komunikasi amat esensial bagi pertumbuhan kepribadian manusia. 

Manusia tidak dapat tidak berkomunikasi. Orang tunawicara pun berkomunikasi melalui bahasa isyarat. Kasus Genie memperlihatkan kepada kita bahwa komunikasi yang buruk terhadap anak menjadikan kepribadian yang buruk bagi anak. Sebaliknya, komunikasi yang baik terhadap anak dapat membuat mental anak berkembang dengan baik. Tidak hanya mental yang baik, tapi juga sehat secara jasmani.

Anak yang mendapatkan kasih sayang, motivasi dan penghargaan dari orang tuanya akan tumbuh menjadi pribadi yang baik, secara mental maupun fisik. Kelak dewasa ia akan menjadi pribadi yang percaya diri dan menyebarkan kasih sayang kepada lingkungan sosialnya. Anak yang mendapatkan kekerasan verbal maupun fisik dari orang tuanya, kelak dewasa akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan agresif. Jadi, kepribadian seseorang dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia bergaul. Oleh karena itu, peran orang tua menjadi vital untuk pengembangan kepribadian anak.     

Kasus Genie menjadi pelajaran berharga buat kita agar senantiasa menerapkan praktik komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dengan memerhatikan etika dan empati komunikasi. Dengan etika komunikasi, kita tahu bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa yang sopan, misalnya. Dengan empati komunikasi, kita bisa memahami perasaan orang lain.

Daniel Goleman (1996:135) dalam bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”, mengatakan bahwa kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan manajemen hingga ke asmara dan mendidik anak, dari belas kasih hingga tindakan politik. Tiadanya empati juga sangat nyata. Ketiadaannya terlihat pada psikopat kriminal, pemerkosa, dan pemerkosa anak-anak.

Menurut Goleman (1996:135-136) kebalikan dari orang yang memiliki rasa empati adalah aleksitimia. Ia mengatakan bahwa aleksitimia adalah kegagalan mendata perasaan orang sebagai kekurangan utama dalam kecerdasan emosional, dan cacat yang menyedihkan sebagai seorang manusia. Penulis berpendapat bahwa aleksitimia adalah ketidakmampuan seseorang memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain.

Pada kasus Genie, ia adalah korban dari ayahnya yang mengidap aleksitimia. Ayahnya sama sekali tidak memiliki rasa empati terhadap Genie sebagai anak kandung yang seharusnya mendapatkan kasih sayang, motivasi dan penghargaan. Sekarang ini orang-orang yang mengidap aleksitimia, misalnya kelompok ISIS (Islamic State of Irak and Syria). Kelompok ISIS memandang orang yang berbeda pendapat sebagai musuh yang harus dihancurkan. Bahkan kelompok ekstrem ini tidak segan-segan membunuh orang yang berbeda paham dengan mereka. Mereka tidak memahami perasaan orang lain sebagai manusia yang berhak hidup damai dan dikasihi.

Ayah Genie dan kelompok ISIS adalah contoh dari ketidakmampuan melakukan hubungan sosial yang dilandasi empati dan cinta. Perlakuan keduanya terhadap manusia berdampak sangat buruk, yakni menyisakan trauma psikis yang berat, seperti ketakutan yang berkepanjangan. Sementara, contoh yang baik mengenai komunikasi bagi pengembangan kepribadian adalah akhlak para nabi yang memiliki kasih sayang kepada keluarga, sahabat dan masyarakat sekitarnya. Untuk menjadikan anak-anak maupun orang di sekitar kita tumbuh berkembang menjadi pribadi yang percaya diri, optimis, dan berakhlak mulia, maka lakukanlah hubungan yang dilandasi cinta kasih, empati, motivasi dan penghargaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline