Catatan Akhir Tahun yang Berkesan Dari Jombang
[caption id="attachment_387137" align="aligncenter" width="300" caption="Poster POEM ON STAGE"][/caption]
Jelang malam perayaan Natal bagi umat Kristiani kemarin, 24/12/2014, pukul 19.30 WIB, kusisihkan waktu dan uang saku untuk bertandang ke Kota Jombang. Bukannya tak sopan kepada yang lebih tua, aku memaksakan diri bertandang ke Kota Jombang tidak untuk menziarahi Makam Gus Dur di Kompleks Ponpes Tebu Ireng, melainkan untuk menonton pertunjukkan yang pembacaan puisi oleh Cucuk Espe dan Anjrah Lelono Broto di Nest Café, Jalan Adityawarman 40 Jombang, bersebelahan dengan Gereja GKJW di Kota Jombang, dengan tajuk agenda POEM ON STAGE. Temanya “Pesan Akhir Tahun”. (di paragraf pertama ini kok aku banyak mengulang kata #Jombang ya?)
Dua nama yang sedianya membacakan puisi dalam agenda POEM ON STAGE tersebut adalah dedengkot Teater Kopi Hitam Indonesia (TKHI) yang beberapa kali menggelar repertoar teater di Kota Malang selama lima tahun terakhir ini. Di antaranya berjudul “Jenderal Markus”, dan “Wisma Presiden”. Ternyata, mereka berdua tidak hanya piawai berakting di panggung teater, mereka berdua juga jago menulis cerpen, puisi, dan esai yang kerap kali dimuat di media-media massa nasional dari Sabang sampai Merauke. Besar harapku, ntar bisa melihat gaya mereka membaca puisi-puisinya dan tentu saja mengcopynya.
[caption id="attachment_387140" align="aligncenter" width="300" caption="Aura romantis di Nest Cafe - Jombang."]
[/caption]
Petang di bawah guyuran ritmis gerimis yang jatuh dari langit, langkah kakiku memasuki pelataran Nest Caffe yang sejuk. Meski telah masuk dalam peta dalam kota Jombang dan hanya 100 meter dari jalan lintas provinsi Surabaya-Solo, namun posisi café ini jauh dari kebisingan. Sejuk, tenang, dan auranya romantis abis. Kedatanganku disambut dengan tenda-tenda café yang bertuliskan brand rokok untuk pasar kaum muda. Aku segera duduk di salah satunya. Sementara kru Nest Café dan SPG brand rokok tersebut juga segera menyerbu dengan salam bersahabat. Ketika kusebutkan bahwa aku datang dari luar kota, salam bersahabat mereka menjadi semakin erat.
Telinga ini dibuai dengan alunan musik reggae yang dibawakan oleh teman-teman Besut Reggae Jombang, yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswi STKIP PGRI Jombang. Di sudut selatan-barat café, mataku menumbuk pada sosok dua nama yang akan membacakan puisi-puisinya malam ini, Cucuk Espe dan Anjrah Lelono Broto. Ingin rasanya menghampiri mereka dan mengucap salam, namun kelihatannya acara POEM ON STAGE dengan tema “Pesan Akhir Tahun” ini akan segera dimulai. Jadi kuurungkan, bukankah malam masih panjang, dan semakin malam kan semakin asyik untuk berdiskusi. Hehehehe…
Seorang perempuan berjilbab yang didapuk menjadi pembaca acara maju ke depan, belakangan ku tahu namanya “Anna”, entah lengkapnya. Teman-teman Besut Reggae Jombang akrab memanggilnya dengan sebutan “Jum”, dan atau “Juminten”. Sayang, cakep-cakep kok dipanggil “Juminten”. (Maaf, tidak bermaksud SARA). Dia memperkenalkan agenda ini dan mulai memberikan waktu dan ruang bagi Cucuk Espe, Anjrah Lelono Broto, dan beberapa yang lain untuk membacakan puisi-puisinya. Inilah yang kutunggu-tunggu.
[caption id="attachment_387142" align="aligncenter" width="300" caption="Gaya Cucuk Espe ketika membaca puisi-puisinya."]
[/caption]
Cucuk Espe mendapatkan waktu lebih dulu, mungkin karena senioritas. Dengan mengenakan kaos putih, dan topi yang sedikit menyembunyikan wajahnya, aktor dan penulis yang baru saja meluncurkan bukunya berjudul “3 Repertoar Cucuk Espe” di Universitas Negeri Malang ini kemudian membacakan puisi-puisinya. Kolaborasinya dengan teman-teman Besut Reggae Jombang menyulap agenda baca puisi tersebut menjadi agenda musikalisasi puisi. Pun begitu dengan Anjrah Lelono Broto, dia juga membacakan beberapa puisinya secara kolaboratif. Puisi-puisinya terkesan romantis dan menciptakan suasana yang gimana gitu. (Hufft, aku jadi ingat sama Mr. X). Sebenarnya, ku menunggunya membaca beberapa puisinya dalam buku Antologi Puisi “Tasbih Hijau Bumi”nya Lesbumi NU Jatim yang baru dilaunching sehari sebelumnya di Surabaya, tapi ternyata, tak dibacakannya. Lalu disusul dengan Andi Kepik dari Teater Suket Indonesia dan Sabrang Suparno dari MEP (entah ku gak tau apa kepanjangannya, konon itu intitusi yang dipimpin oleh salah satu adiknya Emha Ainun Nadjib).
[caption id="attachment_387144" align="aligncenter" width="300" caption="Anjrah Lelono Broto beraksi dengan puisi-puisinya."]
[/caption]
Menurutku, satu hal yang menarik dari peristiwa di malam POEM ON STAGE dengan tema “Pesan Akhir Tahun” (24/12/2014) di Nest Café ini adalah suasana peristiwa pembacaan puisi yang santai ala café, dengan alur yang mengalir begitu saja, tidak ada sekat antara penampil dan penonton, serta tidak sarat dengan beban acara. Beberapa kali, aku pribadi menyaksikan pertunjukkan pembacaan puisi, aku dihadapkan dengan lingkungan penonton yang homogen. Penonton satu adalah teman penonton lain, atau penonton satu adalah teman penampil. Jadi, yang kulihat justru adalah peristiwa reuni, bukan apresiasi murni terhadap karya puisi yang dibacakan. Di sisi lain, ku juga sering melihat homogenitas itu justru nampak kuat pada peristiwa-peristiwa serupa yang digelar lembaga pemerintah di bidang kesenian-kebudayaan, atau organisasi semacam dewan-dewanan kesenian. Akan tetapi, hal ini tidak terlihat pada agenda POEM ON STAGE malam ini. Mayoritas penontonnya adalah pengunjung Nest Café yang datang dengan motif dan jaringannya masing-masing, namun di dalamnya, mereka berinteraksi dengan nyaman karena sentuhan karya yang mengundang apresiasi. Tepuk tangan di akhir setiap puisi yang dibacakan justru mengalir begitu saja karena puisinya, bukan karena sungkan ala pertemanan yang telah terjalin sebelumnya.
Sebelum kembali ke Malang, aku beruntung bisa semeja dengan para penampil malam itu. Secara tersirat, justru hal seperti inilah yang mereka inginkan. Kesenian membuka ruang apresiasi bagi siapa saja, tidak membatasi diri dalam komunitasnya masing-masing. Karya-karya mereka adalah karya pribadi yang dari dan untuk penikmatnya.
“Ini langsung balik ke Malang, Mbak Yenny?” tanya Anjrah Lelono Broto saat ku berpamitan, aku mengangguk padahal tidak, aku mau mampir dulu ke rumah saudara di Jombang, tadi sore kami sudah bbm-an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H