Lihat ke Halaman Asli

Teori Behaviorisme dalam World Problem (Word Problem)

Diperbarui: 19 November 2022   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menarik rasanya ketika kita dihadapkan oleh berbagai teori yang terkadang untuk mencerna bahasa dan istilahnya saja kita terkadang perlu beberapa detik untuk mengernyitkan alis, berusaha untuk mengolah kelompok kata yang menari-nari di sel kelabu agar menjadi sebuah arti dan konteks riil di keseharian kita. Malah terkadang sebenarnya teori tersebut mungkin sangat sederhana dan yang memang betul-betul sudah kita jalankan hampir di dalam lini kehidupan kita sehari-hari, tetapi kita tidak menyadarinya. 

Ada petikan kata-kata dari Einstein yang cukup menggelitik nurani, beliau bilang "If you can't explain it simply, you don't understand it well enough." Dengan segala kerendahan hati, saya sendiripun sering mengalami hal ini, apa yang Einstein sampaikan benar adanya. Ketika kita tidak menguasai suatu topik untuk menjelaskannya dengan kalimat yang paling sederhana, mungkin akan terasa menjadi tugas paling berat dibandingkan membajak sawah dengan kaki yang sudah terbenam lumpur sedada. Sedangkan ketika ada topik yang memang benar-benar kita kuasai, bibir ini cuma terkesan berguman dan tidak membutuhkan waktu lama anak didik kita sudah mengerti apa yang kita maksud.

Mari kita kupas sedikit mengenai teori Behaviorisme. Edward Thordike adalah salah satu penggagas dari teori Behaviorisme, ia mengatakan bahwa teori Behaviorisme adalah gabungan dari teori-teori sebelumnya yaitu yang menyangkut stimulus dan respons. Jadi berdasarkan Law of Exercise yang dikemukakannya, hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat manakalah terus-menerus dilatih atau diulang sehingga membentuk suatu kebiasaan yang dikehendaki. Istilah kata yang paling awam adalah ungkapan " Bisa karena biasa" atau kalau mau lebih sedikit terdengar lebih keren "Practice makes perfect". Sepertinya praktek ini sudah tidak asing lagi bagi para guru. Terutama guru-guru yang mengajar dibidang eksakta. 

Saya teringat waktu pertama kali memulai pengalaman mengajar Matematika anak kelas 4 SD di salah satu sekolah swasta nasional plus. Mereka memakai buku Matematika dari kurikulum Singapura. Baru saja menginjakan kaki di kelas, berusaha untuk meyakinkan anak-anak bahwa Matematika itu tidaklah  sulit. Saya pun mulai memberikan beberapa trik, sesaat mereka terlihat takjub, lalu kemudian....layu sebelum berkembang. Mereka mengeluh bahwa word problems adalah salah satu momok bagi mereka... 

Meskipun begitu saya berusaha untuk tetap membuat mereka optimis, "Tidak sulit koq, yang penting kalian bantu visualisasikan saja. Karena ini adalah sebenarnya world problem bukan word problem jadi kalian dituntut untuk memecahkan challenge ini sebagai bagian dari tugas negara". Mereka pun tergelak dan ada binar sebuah harapan disana. Walaupun dalam benak saya berteriak "Tidak segampang itu Fergusooo". 

Singkat kata, saya pun berjibaku mencari metode yang tepat untuk pengajaran world problem. Disamping memberikan pembelajaran melalui pictoral atau yang biasa dikenal dengan bar model. Penggunaan bar model sangatlah membantu para guru dan siswa dalam memahami dan memecahkan soal cerita yang lebih kompleks. Jujur saja kalau bertemu dengan penemu bar model saya ingin mengucapkan banyak terima kasih karena ini benar-benar sangat menolong dalam mempermudah pemahaman anak dalam menyelesaikan soal cerita. Kemudian, saya juga banyak melakukan observasi secara gerilya mengenai bagaimana metode pengajaran rekan-rekan saya. Singkat kata sampailah pada kesimpulan bahwa mereka menggunakan sistem drilling. Latihan terus menerus dan berulang. 

Sempat tercetus sebuah keraguan di dalam hati, apakah nanti anak-anak tidak akan jenuh? akan tetapi rekan saya berpendapat, bahwa sampai saat ini belum ada cara yang lebih efektif dalam mengajarkan word problem kecuali melalui metode drilling. Memang akan terlihat membosankan, tetapi bagi mereka para siswa, mereka akan mencapai titik kepuasan tertentu ketika mereka akhirnya bisa mengerti dan menyelesaikannya dengan baik.  Idealisme saya pun luntur ketika dihadapkan antara target pencapaian anak murid, dan dihadapkan oleh segudang aktifitas sekolah yang cukup menyita waktu. Jadi saya pun berpartisipasi dalam penerapan metode drilling ini tetapi tidak lupa menyelipkan nilai-nilai kehidupan di sela-sela pembelajaran.

Dari hasil pengalaman diatas, saya akui ternyata metode latihan terus menerus memang cukup efektif bagi sebagian besar anak. Berkaca pada salah satu kursus Matematika yang terkenal yang mempunyai logo karikatur seorang anak yang mempunyai ekspresi muka datar yang memakai metode ini. Mereka menyediakan puluhan bahkan ratusan soal yang mirip untuk para murid kerjakan sehingga mereka cenderung bisa mengingat bukan lagi menghitung. Akan tetapi, tentunya tak ada gading yang tak retak. Kelebihan dalam menjalankan metode drilling menurut saya, siswa akan terbiasa dan piawai dalam menghadapi soal-soal yang biasa diberikan. 

Sedangkan kelemahannya adalah pengajaran terkesan monoton, dan dibutuhkan konsistensi agar sampai pada tujuan yang dimaksud. Namun ketika berganti topik mereka akan cenderung mudah lupa karena untuk mempermudah ingatan berberapa studi mengatakan bahwa kita perlu melibatkan see, hear, touch, and feel. Konon, Eisntein dan  Nicholas Tesla mempunyai teknik khusus dalam mencari ide untuk memecahkan masalah. Mereka memegang sebuah buku dan membacanya ketika mereka merasa mulai mengantuk. Diharapkan ketika tubuh dalam kondisi rileks frekeuensi gelombang otak alpha dan delta akan mendominasi dan tentunya ide-ide besar akan muncul setelahnya. Hampir sama ketika kasus Archimendes terjadi ketika ia pada akhirnya memecahkan pertanyaan dari raja mengenai kemurnian kadar emas di mahkota sang raja. Ia berendam dalam sebuah bathtub dengan rileks, tiba-tiba ia mendapatkan jawaban yang selama ini ia cari. Saking   senangnya ia bergegas keluar dalam kondisi telanjang sambil berteriak "Eureka!"  Dimana penemuan ini menjadi cikal bakal hukum Archimendes mengenai massa jenis yang terkenal. Namun tindakan yang terakhir tidak perlu ditiru ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline