Lihat ke Halaman Asli

Orang Buta yang Membawa Lentera

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13685079711412267701

Judul di atas sebenarnya adalah judul sebuah buku yang sedang saya baca. Buku tersebut saya beli bukan karena saya tertarik atau penasaran dengan isinya, tetapi karena suatu waktu saya bertemu langsung dengan editornya dan ibu muda tersebut berkata pada saya bahwa buku tersebut bagus untuk dibaca mengingat saya adalah seorang guru anak-anak Sekolah Minggu.

Setelah membaca beberapa bagian, saya merasa terkesan dan menyimpulkan bahwa buku tersebut memang menarik. Isinya adalah pengalaman D.L. Moody (penginjil yang hidup di abad ke-19) ketika ia masih kanak-kanak maupun pengalamannya bersama anak-anak. Karena keterbatasan waktu, buku tersebut belum selesai say abaca, tetapi saya membawanya selalu di tas saya ke manapun saya pergi dengan maksud supaya di mana pun berada ketika saya sedang duduk menganggur, saya bisa membacanya sedikit.

Suatu kali, ketika saya sedang duduk menganggur menunggu pergantian jam mengajar Sekolah Minggu, saya mengeluarkan buku kecil tersebut. Saya meneruskan membaca, tanpa menghiraukan kanan kiri. Ternyata ada seorang bapak, orang tua siswa Sekolah Minggu, yang datang mendekat dan menyapa saya. Ia penasaran dengan buku di tangan saya dan menyempatkan diri untuk membaca judulnya. Saya pun ramah kepadanya dengan menyebutkan judul tersebut: ORANG BUTA YANG MEMBAWA LENTERA. Bapak tersebut menjawab: Untuk apa? Saya mengira ia bertanya pada saya untuk mengetahui alasan saya membaca buku tersebut. Saya menjawab: Buku bagus, Pak. Jawabnya lagi: Untuk apa? Untuk apa orang buta membawa lentera? Mendengar jawabnya tersebut, saya terkejut. Mengapa saya tidak berpikir ke arah sana? Bukankah lentera tersebut tak pernah ada gunanya buat orang buta? Terang lentera itu tak pernah sekalipun menerangi jalannya. Ah, judul buku ini merupakan kalimat yang terlalu bersayap bagi saya, sehingga otak saya tak sempat mencerna maknanya, hanya menikmati indahnya rima.

Dalam hidup ini, mungkin kita memiliki prinsip untuk selalu hati-hati membawa diri, karena tidak ingin terlibat dalam suatu masalah. Namun, seringkali kita dihadapkan kepada situasi dimana masalah-masalah orang lain tiba-tiba, secara otomatis, menjadi masalah kita. Kita diharuskan mencari solusinya supaya hidup orang lain (dan juga kita sendiri) kembali nyaman.

Saat itu kita seperti orang buta yang ditugasi membawa lentera. Rasanya kita ingin berteriak: WHATSSSSS???? DEMI TUHANNNNNNN!!!! Saya tak pernah diuntungkan dengan lentera ini. Justru tangan saya capai dan lelah memeganginya, kaki saya pun harus terus move on bersama orang-orang yang membutuhkan terangnya.

Kalau saja ada pilihan, pastilah kita sebagai orang buta memilih berhenti dari tugas membawa lentera atau apalah itu. Tetapi masalahnya, ini otomatis terjadi, bukan bersifat optional. Meskipun mata kita tak pernah melihat terang lentera yang kita bawa, kaki capai luar biasa, tangan juga pegal linu tak terkira, satu hal yang harus tertanam di pikiran kita adalah: Keep moving…. Lentera di tangan kita tak pernah berarti untuk kita, tetapi sangat berarti untuk orang-orang lain. Tugas kita hanyalah membawanya dan terus berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline