Lihat ke Halaman Asli

Penjual Jamu Gendong Terakhir

Diperbarui: 4 April 2017   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Jamuuuu…! Jamu-jamuu…!” Teriakan khas seorang tukang jamu bergema di sebuah gang. Beberapa pasang mata menatap pada sosok muda berkebaya hijau dengan sanggul dan bersandal selop hijau. Umurnya kira-kira delapan belas tahun. Bulan juni tahun ini gadis itu  lulus dari sebuah SMA di kota Boyolali. Kota kecil yang sejuk dengan penduduk yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan kota tetangganya, Solo.

Boyolali tahun 2017 tidak begitu berbeda dengan boyolali beberapa tahun sebelumnya. Tahun 2017 sudah ada mal besar di dekat pasar Boyolali, ada bioskop yang baru dibuka, sehingga anak-anak yang malam mingguan tidak perlu jauh-jauh untuk nonton.

Banyak hal sudah berubah, termasuk pedagang jamu tradisional. Pada tahun itu hanya tinggal satu pedagang jamu tradisional, yaitu : Edellia. Namanya diambil dari kata Edellweis. Nama bunga yang hanya tumbuh di dataran tinggi. Nama yang sangat indah. Beda sekali dengan bayangan orang-orang bahwa pedagang jamu itu biasanya bernama agak kuno seperti ; Jumiyem, atau Juminten misalnya. Orang jaman sekarang akan berpikir beberapa kali untuk memakai nama yang sudah dianggap sudah ketinggalan jaman itu. Begitulah, semua hal mengalami pergeseran.

Edellia adalah lulusan SMA N 1 Boyolali. Sebuah sekolah negeri yang dari dulu menjadi incaran anak-anak Boyolali. Mungkin orang-orang akan bertanya mengapa gadis yang dulunya selalu menjadi lima besar di kelas malah memilih menjadi penjual jamu gendong daripada kuliah, atau bekerja di tempat yang lebih nyaman lainnya.

Edellia mengemban sebuah misi yang harus dia tanggung sejak ibunya meninggal dua bulan yang lalu. Dia harus melestarikan jamu gendong. Karena sebelum berjualan jamu. Mendiang Ibu Edellia pun adalah seorang penjual jamu satu-satunya di kota Boyolali. Dan sekarang setelah Ibunda Edellia meninggal, penyandang the last jamu gendong seller adalah ; Edellia. Gadis berparas manis dengan kulit sawo matang, bermata jeli yang dihiasi bulu mata lentik, dan berbibir mungil kemerah-merahan. Meski sudah lewat tujuh belas, orang-orang sering mengiranya baru lulus SMP.

Edellia menerima amanat Ibunya untuk melestarikan jamu gendong, dan dia tidak menyesal mengambil langkah itu. “Jamu gendong harus tetap ada, meski jaman sudah berubah,” batin Edell, sapaan akrabnya, apabila mendapat cibiran dari teman-temannya yang juga baru lulus sekolah.

“Jamuuuuuuuu…!” seruan Edell kembali merobek kesenyapan di perumahan sepi di tengah kota Boyolali yang sejuk. Hari itu matahari cukup terik. Sudah satu jam Edell berjalan, tapi belum ada satu orang pun yang membeli jamunya. Padahal biasanya jam sepuluh pagi saja jamunya sudah banyak yang beli. Tapi hari ini orang-orang pasar yang biasa membeli jamunya tidak berselera menghirup ramuan tradisional itu.

Edell kecapekan. Melihat rimbunan pohon beringin di pinggir jalan, Edell memutuskan untuk beristirahat sebentar. Dibukanya selendang yang digunakan untuk menggendong jamu, lalu bakul berisi jamu-jamu diturunkan dan diletakkan di sebelahnya. Gadis itu duduk di semen pembatas jalanan. Di bawah pohon beringin rasanya sedikit sejuk.

“Nduk.. beli jamunya,” kata seorang kakek-kakek yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

“Eh.. i..iya..mbah..!” kata Edell agak kaget. “Jamu apa Mbah?”

Kakek itu melihat ke arah bakul sebentar, lalu menunjuk sebuah botol dengan cairan kehitaman yang ada di dalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline